Laporan Khusus | Oleh Redaksi Amerika Data Pribadi
Amerika Data Pribadi – Pada pagi yang gerimis di Jakarta, secangkir kopi hangat tak cukup untuk menenangkan kegelisahan para pemerhati digital tanah air. Di balik layar komputer dan gemuruh notifikasi, sebuah kabar besar datang dari seberang Samudra Pasifik: Indonesia dan Amerika Serikat baru saja menandatangani sebuah perjanjian penting yang mencakup arus data pribadi antarnegara. Kabar ini mungkin terdengar seperti langkah maju dalam diplomasi digital. Namun, bagi sebagian kalangan, ini bisa menjadi awal dari konflik kedaulatan digital yang lebih dalam.
Amerika Data Pribadi dan Arah Baru Diplomasi Digital
Perjanjian yang diumumkan oleh Gedung Putih pada Selasa, 22 Juli 2025 waktu Washington—atau Rabu dini hari di Indonesia—bukan sekadar soal ekspor-impor barang. Di balik dokumen yang disebut “joint statement” itu, terselip isu strategis: arus data pribadi lintas negara.
Kesepakatan itu menjadi bagian dari Agreement on Reciprocal Trade, sebuah kerangka kerja perdagangan timbal balik yang mencakup tarif impor yang diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen, sektor investasi, tenaga kerja, ekonomi digital, dan keamanan siber. Namun, perhatian publik justru tertuju pada satu kata kunci yang menggetarkan dunia maya Indonesia: transfer data pribadi ke Amerika Serikat.
Masuknya “amerika data pribadi” dalam diskursus nasional membuka kembali luka lama—tentang bocornya jutaan data masyarakat Indonesia, tentang lemahnya pengawasan, dan tentang janji-janji penguatan regulasi yang belum sepenuhnya ditepati.
UU Sudah Ada, Tapi Siapa yang Menjaga?
Sejak Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi disahkan pada 17 Oktober 2022, publik menaruh harapan besar. UU ini digadang-gadang sebagai tameng utama dalam menghadapi arus digital global yang kian deras. Tapi hingga lebih dari dua tahun kemudian, amanat utama UU itu—yakni pembentukan lembaga pengawas data pribadi yang independen—masih terkatung-katung di ruang hampa birokrasi.
Pasal 58 UU tersebut menyatakan bahwa lembaga pengawas harus sudah terbentuk paling lambat dua tahun sejak diberlakukannya undang-undang. Namun hingga tulisan ini dibuat, lembaga itu belum juga berdiri. Alhasil, setiap tahun, jutaan data pribadi warga Indonesia masih terus bocor dan berpindah tangan tanpa jejak.
Amerika Data Pribadi dan Standar Ganda Perlindungan
Pratama Persadha, pakar keamanan siber dan kepala Communication and Information System Security Research Center (CISSRec), angkat bicara soal perjanjian transfer data ini. Dalam pandangannya, UU PDP sebenarnya tidak melarang total transfer data antarnegara. Tapi ada syarat yang jelas: negara tujuan harus memiliki perlindungan data setara atau lebih baik dari Indonesia, atau terikat dalam perjanjian internasional.
Masalahnya? Amerika Serikat hingga saat ini belum memiliki UU federal yang seketat GDPR di Uni Eropa. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Apakah data warga Indonesia akan aman jika mengalir ke negeri yang menjunjung tinggi bisnis teknologi namun belum memiliki regulasi pelindung data yang komprehensif?
“Tanpa perangkat pelaksana dan lembaga pengawas, janji pelindungan data hanya akan jadi retorika,” ujar Pratama dalam pernyataannya, Kamis, 24 Juli 2025.
Momentum atau Bahaya yang Disamarkan?
Dari sisi pemerintah, kesepakatan ini disebut sebagai peluang strategis. Kerja sama dengan Amerika Serikat dianggap bisa menjadi pemicu percepatan penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan teknis dari UU PDP. Di saat yang sama, ini dinilai bisa mempercepat lahirnya Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi (LPPDP).
Namun, kritikus mengingatkan agar langkah ini tak hanya jadi simbolisme diplomatik semata. Pemerintah harus membuktikan bahwa prinsip kedaulatan digital—yakni hak negara untuk mengatur dan melindungi data warganya—tetap jadi pegangan utama.
“Pemerintah bisa terbuka terhadap arus data global, tapi harus ada standar evaluasi yang objektif dan tegas terhadap negara mitra,” tegas Pratama.
Ia menambahkan, jika perlu, kesepakatan transfer data ke Amerika harus diikat dalam bentuk perjanjian bilateral yang menjamin hak digital warga Indonesia: hak untuk diberitahu, dihapus, hingga menggugat jika terjadi pelanggaran.
Data Bukan Sekadar Angka, Tapi Aset Negara
Dalam lanskap ekonomi digital, data adalah “minyak baru”. Ia menjadi bahan bakar utama bagi kecerdasan buatan, algoritma pencarian, hingga pengembangan teknologi masa depan. Tak heran jika isu transfer data pribadi ke luar negeri—apalagi ke negara seperti Amerika Serikat yang menguasai ekosistem digital global—mengundang kekhawatiran.
Jika tak diatur dengan bijak, data warga Indonesia hanya akan menjadi komoditas mentah yang dipanen oleh korporasi asing, diolah di luar negeri, lalu dijual kembali ke Indonesia dalam bentuk layanan berbayar.
Karenanya, menurut Pratama, kerja sama internasional semestinya diarahkan untuk memperkuat ekosistem digital dalam negeri: mulai dari pembangunan pusat data, riset teknologi, hingga penciptaan talenta digital lokal. Jika tidak, maka kerja sama semacam ini hanya akan memperdalam ketergantungan.
Suara Sumbang dari Lembaga HAM Tentang Amerika Data Pribadi
Di sisi lain, organisasi hak asasi manusia Imparsial tak tinggal diam. Mereka justru melihat perjanjian ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan prinsip kedaulatan digital.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyampaikan keprihatinan mendalam. Menurutnya, data pribadi bukan komoditas dagang, melainkan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Ia juga menyoroti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah regulasi teknis nasional, termasuk Pasal 20 Ayat (2) dalam PP Nomor 71 Tahun 2019 yang mewajibkan penyimpanan data oleh instansi publik dilakukan di dalam negeri.
“Amerika data pribadi bukan sesuatu yang bisa diperdagangkan bebas. Jika pemerintah membiarkan arus data ke luar tanpa pengawasan, maka keberadaan pusat data dalam negeri dan komitmen terhadap kedaulatan digital hanya akan jadi formalitas,” tegas Ardi.
Imparsial juga menilai, lemahnya perlindungan hukum di Amerika Serikat akan membuat data pribadi warga Indonesia lebih rentan disalahgunakan, tanpa mekanisme hukum yang jelas untuk mengajukan keberatan atau tuntutan.
Apa Selanjutnya Soal Amerika Data Pribadi?
Amerika Data Pribadi – Dilema ini menempatkan Indonesia di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada janji kerja sama dan pertumbuhan ekonomi digital. Di sisi lain, ada risiko besar terhadap privasi, keamanan, dan kedaulatan data. Amerika data pribadi mungkin terdengar menjanjikan di atas kertas, tapi tanpa lembaga pengawas dan regulasi teknis yang kuat, semuanya hanya akan jadi mimpi buruk dalam bentuk nyata.
Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi warga negaranya, inilah saatnya membuktikan komitmen. Pembentukan LPPDP tak bisa lagi ditunda. Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU PDP harus segera dirampungkan. Dan lebih penting lagi, kerja sama internasional semestinya tak hanya soal membuka pintu ekspor, tapi juga menjaga jendela keamanan kita dari penyusup tak terlihat.
Dalam era di mana data lebih berharga dari emas, kita tak bisa lagi berjalan dengan mata tertutup.