Asahan – Pada Senin pagi yang teduh di awal Agustus 2025, halaman Kantor Bupati Asahan terlihat lebih semarak dari biasanya. Barisan para aparatur sipil negara berdiri tegak, bukan hanya untuk mengikuti apel gabungan rutin, tetapi juga menyaksikan momen penting yang mencerminkan denyut perubahan dari akar rumput.
Di tengah deretan wajah-wajah serius dan seragam rapi, Wakil Bupati Asahan, Rianto, berdiri di podium. Suaranya menggema, bukan sekadar menyampaikan pidato biasa, melainkan mengumumkan kabar menggembirakan: enam desa di Kabupaten Asahan berhasil menyabet penghargaan atas terobosan mereka dalam pembangunan lokal.
Ini bukan penghargaan biasa. Lebih dari sekadar piagam dan piala, ini adalah pengakuan atas kerja keras, inovasi, dan semangat gotong royong yang hidup dalam komunitas desa. Evaluasi yang dilakukan sepanjang tahun ini telah menelusuri capaian administratif, keterlibatan warga, transparansi pengelolaan dana, serta kreativitas dalam menggerakkan ekonomi lokal. Semua itu menyatu dalam satu pertanyaan besar: siapa saja yang benar-benar membangun dari bawah?
Desa Sengon Sari: Juara dengan Sentuhan Digital dan Wirausaha Kolektif
Desa Sengon Sari dari Kecamatan Aek Kuasan keluar sebagai bintang utama. Menempati posisi pertama, desa ini menjadi bukti bahwa kemajuan teknologi tak lagi milik kota semata. Dengan memanfaatkan digitalisasi data, memperkuat lembaga desa, dan mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Sengon Sari menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang terkecil.
Masyarakat di desa ini tidak sekadar menjadi penonton dalam pembangunan; mereka aktor utama. Dari sistem informasi desa yang terintegrasi hingga produk lokal yang kini punya pasar lebih luas, semua itu adalah hasil dari kerja kolektif. Rianto pun tak segan memberikan pujian. “Penilaian ini bukan formalitas. Ini apresiasi atas dedikasi dan kerja nyata yang bisa jadi teladan,” ucapnya saat menyerahkan penghargaan secara langsung.
Dua Desa Lain yang Tak Kalah Memikat
Jika Sengon Sari adalah pemimpin orkestra, maka Desa Bandar Pasir Mandoge dan Desa Ledong Barat adalah solois-solois yang menambah keindahan simfoni. Bandar Pasir Mandoge, yang terletak di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, meraih posisi kedua berkat penguatan partisipasi warga dan sistem pelaporan kegiatan desa yang transparan.
Sementara itu, Desa Ledong Barat dari Kecamatan Aek Ledong mengunci posisi ketiga dengan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan dana desa dan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Warga di sana tak lagi menunggu bantuan dari pusat, tetapi aktif menciptakan solusi bersama.
Ketiga desa ini, masing-masing dengan caranya sendiri, memperlihatkan bahwa Asahan sedang bergerak—bukan karena dorongan dari atas, tetapi dari energi komunitas yang bergolak dari dalam.
Desa-Desa Harapan: Pilar Masa Depan
Tak hanya tiga besar, Pemkab Asahan juga mengakui upaya dari desa-desa yang menunjukkan potensi besar dan semangat yang tak kalah membara. Tiga desa menerima penghargaan kategori “Harapan,” yaitu bentuk apresiasi terhadap desa yang mungkin belum sepenuhnya mencuat, tetapi menyimpan bibit-bibit emas pembangunan masa depan.
- Harapan I jatuh pada Desa Rahuning dari Kecamatan Rahuning, yang menunjukkan upaya konsisten dalam penguatan kapasitas aparatur desa.
- Harapan II diberikan kepada Desa Perbangunan, Kecamatan Sei Kepayang, berkat inisiatif lingkungan dan pengelolaan air bersih berbasis komunitas.
- Harapan III diraih oleh Desa Silau Maraja, Kecamatan Setia Janji, karena keberhasilannya dalam mendorong pendidikan inklusif dan kesetaraan gender di lingkungan pedesaan.
Meski berada di kategori “harapan”, ketiga desa ini ibarat tunas muda yang siap tumbuh menjadi pohon besar jika terus dipelihara dengan perhatian dan dukungan yang tepat.
Dari Evaluasi Menjadi Arah Kebijakan
Rianto menjelaskan bahwa evaluasi ini bukan sekadar ajang penghargaan tahunan. Lebih dari itu, ini menjadi dasar pijakan bagi Pemkab Asahan dalam merumuskan kebijakan afirmatif yang benar-benar menyentuh kebutuhan desa. Tak hanya berhenti pada pujian, pemerintah akan melanjutkan langkah ini dengan pelatihan aparatur, peningkatan kualitas tata kelola, hingga pemberian insentif berbasis kinerja.
“Kami ingin menjadikan desa sebagai subjek pembangunan, bukan objek. Semua capaian hari ini akan kami jadikan bahan bakar untuk mendesain kebijakan yang lebih adaptif dan responsif,” ujar Rianto dengan nada optimis.
Semangat Merdeka di Birokrasi yang Melayani
Selain penghargaan desa, apel gabungan itu juga menjadi panggung untuk refleksi kinerja birokrasi. Rianto menyinggung pentingnya semangat kemerdekaan yang tidak berhenti pada atribut merah putih atau seremoni belaka. Menurutnya, wujud penghormatan terbaik terhadap perjuangan para pahlawan adalah pelayanan publik yang cepat, efisien, dan bebas dari hambatan birokrasi yang lamban.
“Pelayanan yang tanggap adalah bentuk patriotisme modern. Jangan biarkan warga menunggu hanya karena proses administrasi yang berbelit,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas tingkat pemerintahan, dari level kabupaten hingga ke unit terkecil di desa. “Tak ada pembangunan yang berhasil tanpa sinergi,” tambahnya.
Asahan Menuju Masa Depan yang Lebih Inklusif
Apa yang terjadi di Asahan bukan sekadar seremoni birokrasi. Ini adalah fragmen dari cerita besar tentang Indonesia yang sedang bertransformasi—dari negara yang dulu hanya membangun kota-kota besar, menjadi bangsa yang kini menyadari kekuatan tersembunyi di desa-desa.
Asahan, dengan segala dinamikanya, memperlihatkan bahwa perubahan tidak perlu menunggu anggaran besar atau proyek raksasa. Kadang, semua bisa dimulai dari transparansi anggaran desa, dari rapat warga yang penuh semangat, atau dari BUMDes kecil yang akhirnya menjadi pusat ekonomi lokal.
Penutup: Ketika Desa Menjadi Pusat Inspirasi
Jika pembangunan adalah panggung, maka desa-desa di Asahan adalah para aktor yang mulai menyadari kekuatan naskah mereka sendiri. Mereka tidak lagi bergantung pada arahan semata, tetapi mulai menulis cerita mereka—dengan tinta inovasi, pena partisipasi, dan kertas keberanian.
Penghargaan ini bukan garis akhir. Ini baru awal dari perjalanan panjang menuju kemandirian desa yang sesungguhnya. Dan seperti desa Sengon Sari, Bandar Pasir Mandoge, Ledong Barat, dan tiga desa harapan lainnya, mungkin akan semakin banyak desa-desa di Asahan yang menyusul untuk bersinar.
Karena sejatinya, pembangunan terbaik bukanlah yang paling megah, tetapi yang paling mengakar. Dan Asahan, perlahan namun pasti, sedang menumbuhkan akarnya dengan penuh kesadaran.