banner 728x250

Terobosan Tegas Indonesia: Aset Rp 11,8 Triliun Wilmar Group Disita dalam Skandal Sawit

Wilmar
banner 120x600
banner 468x60

Wilmar

Wilmar – “Astaga, uang sebanyak itu!” gumamku, nyaris tercekik kopi pahit yang baru saja ku teguk. Layar laptop di depanku memancarkan berita yang bikin mata melotot: “Terobosan Tegas Indonesia: Aset Rp 11,8 Triliun Wilmar Group Disita dalam Skandal Sawit”. Jujur, saat pertama kali baca judulnya, aku langsung mikir, “Ini beneran atau hoax sih?” Angka Rp 11,8 triliun itu bukan recehan, ya kan? Itu jumlah yang bikin kepala pusing kalau dibayangkan.

Aku ingat banget, waktu itu hari Selasa, 17 Juni 2025. Jam 5 sore lebih sedikit di Medan. Udara di luar memang lagi gerah-gerahnya, tapi berita ini jauh lebih panas dari suhu kota. Aku sebagai seorang reporter lapangan, yang sering banget berkutat dengan data dan fakta, langsung ngerasa ada dorongan kuat buat ngulik lebih dalam. Rasa penasaran itu kayak nyetrum, bikin aku nggak bisa diem.

banner 325x300

Aku masih ingat jelas, sore itu harusnya aku udah pulang, rebahan, sambil nonton drama Korea favorit. Tapi, begitu notifikasi berita ini muncul di grup WhatsApp para jurnalis, semua rencana buyar seketika. “Wah, ini sih berita gede, bro!” celetuk temanku, Rian, lewat chat. Dia salah satu senior yang sering banget ngasih aku tips-tips jitu dalam meliput. Aku langsung kepikiran Wilmar. Siapa sih yang nggak kenal Wilmar? Perusahaan raksasa di industri kelapa sawit, produknya ada di mana-mana. Nah, begitu nama ini disebut terkait skandal korupsi, rasanya kayak ada gempa bumi kecil di benakku. Bagaimana tidak, perusahaan sebesar itu, yang seolah-olah tak tersentuh, tiba-tiba tersandung masalah separah ini? Ini bukan sekadar isu bisnis biasa, ini menyangkut integritas, moral, dan pastinya, uang rakyat.

Awalnya, aku jujur aja, agak skeptis. Maksudku, seberapa sering sih kita dengar berita penegakan hukum yang bener-bener tegas sampai segininya? Seringnya kan cuma rame di awal, terus ujung-ujungnya adem ayem. Tapi kali ini beda. Kejaksaan Agung (Kejagung) langsung mengumumkan penyitaan aset senilai Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group. Ini bukan omong kosong belaka, ini adalah fakta yang terpampang nyata. Aku langsung buka beberapa tab browser, mencari tahu lebih banyak.

Ternyata, Wilmar dan dua perusahaan kelapa sawit lainnya dituduh menyuap untuk mendapatkan izin ekspor pada tahun 2022. “Ini kan udah lama banget kasusnya, kenapa baru sekarang jadi segini besar?” batinku. Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Aku ingat, sekitar April lalu, memang ada isu-isu tentang suap terkait izin ekspor sawit, tapi tidak seterang benderang ini.

Pengusutan kasus ini, menurutku, menunjukkan sebuah keberanian dari pihak berwenang. Bayangkan, menuntut denda Rp 11,8 triliun dari perusahaan sebesar Wilmar? Itu butuh nyali besar, deh. Aku jadi teringat obrolanku dengan salah satu narasumber senior di Kejagung beberapa waktu lalu. Beliau sempat nyeletuk, “Kasus korupsi ini kayak gunung es, yang kelihatan di permukaan itu cuma puncaknya aja.”

Dan sekarang, sepertinya kita sedang melihat bongkahan es yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Memang, dulu itu ada beberapa rumor beredar, katanya ada “main mata” di balik layar perizinan ekspor sawit. Tapi ya cuma sebatas rumor, sih. Sekarang, dengan adanya penyitaan aset Wilmar ini, rumor itu seolah mendapatkan legitimasi yang kuat. Aku merasa seperti ada teka-teki yang selama ini tak terpecahkan, kini mulai tersusun kepingan-kepingannya.

“Ini nih yang namanya karma instan, ya,” kataku sendiri sambil tersenyum kecut. Aku teringat beberapa bulan lalu, saat harga minyak goreng melambung tinggi, dan banyak masyarakat yang menjerit. Kelangkaan minyak goreng terjadi di mana-mana, dan pemerintah sampai pontang-panting mencari solusi. Ternyata, di balik semua itu, ada praktik kotor yang sedang dimainkan oleh para pemain besar. Motivasi apa sih yang mendasari mereka sampai segitunya? Pasti profit, dong. Profit yang menggiurkan, bahkan jika harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Aku nggak habis pikir, bagaimana seseorang bisa begitu tega demi uang.

Yang lebih bikin aku gregetan adalah cerita penangkapan para hakim yang membebaskan perusahaan-perusahaan ini di bulan April lalu. Kabarnya, mereka menerima suap Rp 60 miliar untuk memenangkan putusan. Enam puluh miliar! Bayangkan, itu uang berapa banyak sih? Aku sampai geleng-geleng kepala. Ini bukan cuma soal korupsi perizinan, tapi sudah merambah ke penegakan hukum itu sendiri. Aku jadi ingat, beberapa minggu sebelum ini, aku sempat meliput kasus kecil di pengadilan negeri. Prosesnya lama, berbelit-belit, dan kadang bikin frustrasi. Nah, ini, kasus besar begini, bisa disuap sebegitu gampangnya? Jelas ini merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan kita. Jujur, rasanya campur aduk. Ada rasa kesal, marah, tapi juga ada secercah harapan bahwa keadilan itu memang ada.

BACA JUGA: Harvey Moeis & Dewi Sandra: Kekayaan, Kontroversi, dan Profil Mereka yang Megah

Aku mencoba menelusuri jejak kasus ini lebih jauh. Kapan persisnya kejadian ini terjadi? Kasus suap perizinan ekspor ini, kalau nggak salah, berawal dari tahun 2022. Waktu itu, memang sedang panas-panasnya polemik sawit dan minyak goreng di Indonesia. Kebijakan pemerintah seringkali berubah-ubah, dan di situlah celah-celah korupsi mungkin muncul. Para pemain besar, seperti Wilmar, tentu punya banyak koneksi dan mungkin punya godaan besar untuk mencari jalan pintas. Mereka punya sumber daya, punya jaringan, dan itu kadang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Aku jadi mikir, ini bukan cuma soal korupsi, tapi juga soal sistem yang rapuh. Sistem yang, jika tidak diawasi ketat, mudah sekali disalahgunakan.

Dimana kasus ini terungkap? Tentu saja di pusat kekuasaan, di Jakarta. Tapi dampaknya, ya, ke seluruh Indonesia. Terutama ke para petani sawit kecil yang mungkin tidak merasakan keuntungan maksimal dari bisnis ini, sementara para pemain besar malah sibuk bermain kotor. Aku membayangkan, di saat para petani di pedesaan sana berjuang mati-matian menanam sawit, memanen, dan menjualnya dengan harga yang kadang tidak seberapa, para petinggi Wilmar ini mungkin sedang menikmati hasil suapnya.

Sungguh ironis. Aku jadi teringat pengalaman salah satu temanku yang berasal dari daerah penghasil sawit. Dia pernah cerita, betapa susahnya para petani di sana, kadang mereka harus berhadapan dengan harga TBS (Tandan Buah Segar) yang anjlok, atau kesulitan mendapatkan pupuk. Sementara itu, di meja-meja mewah, terjadi transaksi-transaksi kotor yang merugikan negara dan rakyat.

Bagaimana caranya Kejaksaan Agung bisa membongkar kasus ini dan menyita aset Wilmar? Ini yang paling menarik bagiku. Pasti ada serangkaian penyelidikan yang sangat panjang dan rumit. Aku membayangkan tim penyidik yang harus bekerja keras, mengumpulkan bukti-bukti, melacak aliran dana, sampai akhirnya bisa menjerat para pelaku. Sutikno, pejabat senior Kejaksaan Agung, sampai bilang, “Wilmar membayar ganti rugi negara yang mereka sebabkan.”

Itu kan berarti Wilmar mengakui kesalahannya, dong? Kalau tidak, mana mungkin mereka mau mengembalikan uang sebesar itu. Bayangkan saja, uang 2 triliun rupiah yang ditumpuk di samping para pejabat saat konferensi pers itu, itu hanyalah sebagian kecil dari total aset yang disita. Jumlah totalnya itu loh, Rp 11,8 triliun. Angka itu membuatku merinding. Ini menunjukkan keseriusan pihak berwenang dalam menindak kasus ini.

Aku teringat beberapa kali aku sempat mengikuti press conference Kejagung. Biasanya, yang dipamerkan itu paling barang bukti berupa uang tunai beberapa ratus juta, atau aset-aset kecil. Tapi ini? Tumpukan uang tunai Wilmar sebesar 2 triliun rupiah? Itu bukan main-main. Itu sinyal kuat bahwa pemerintah serius memberantas korupsi di sektor sawit. Ada rasa bangga sih sebenarnya, melihat aparat hukum kita bisa bertindak tegas seperti ini. Meskipun ya, ada juga rasa kecewa karena korupsi semacam ini masih saja terjadi di negara kita. Tapi paling tidak, dengan adanya penindakan seperti ini, ada harapan bahwa ke depannya, praktik-praktik kotor semacam ini bisa diminimalisir.

Yang patut diacungi jempol adalah bagaimana pihak Kejaksaan Agung mampu mengendus dan menindaklanjuti kasus ini sampai ke akarnya. Termasuk menangkap karyawan Wilmar yang terkait dengan kasus ini pada bulan April. Respon Wilmar sendiri saat itu, katanya sih, mereka membantu penyelidikan. Yah, mau gimana lagi, kalau udah ketahuan basah, ya mau nggak mau harus kooperatif, kan? Ini adalah bukti nyata bahwa tidak ada yang kebal hukum, bahkan perusahaan sebesar Wilmar sekalipun.

Pengalaman meliput kasus-kasus korupsi memang seringkali bikin frustrasi. Rasanya kayak berhadapan sama tembok tebal. Kadang, ada rasa ingin menyerah. Tapi, begitu melihat hasil seperti ini, semua rasa lelah dan kekesalan itu terbayar lunas. Ini bukan sekadar berita, ini adalah pelajaran berharga bagi semua pihak. Bahwa praktik korupsi itu pada akhirnya akan terbongkar, cepat atau lambat. Dan sanksinya itu tidak main-main, lho.

Aku jadi mikir, apa sih yang bisa kita pelajari dari kasus Wilmar ini? Pertama, jangan pernah meremehkan kekuatan integritas. Kedua, jangan pernah menganggap enteng hukum, apalagi jika menyangkut uang rakyat. Ketiga, dan ini penting banget, sebagai masyarakat, kita harus terus mengawasi kinerja pemerintah dan penegak hukum. Jangan pernah lelah untuk menyuarakan kebenaran. Cerita ini juga mengajarkan kita bahwa di balik kemewahan sebuah perusahaan besar, kadang ada cerita gelap yang tersembunyi.

Sore itu, kopi sudah habis, dan layar laptopku masih memancarkan berita tentang Wilmar. Aku menutup laptop, dan memandang keluar jendela. Langit Medan masih terang, tapi hatiku rasanya campur aduk. Ada optimisme, tapi juga ada kekhawatiran. Apakah ini akan menjadi awal dari pemberantasan korupsi yang lebih masif, atau hanya sebatas riak di permukaan? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Tapi satu hal yang pasti, kasus Wilmar ini adalah pengingat yang sangat keras: keadilan itu memang ada, meski kadang datang terlambat. Dan bagi kita, sebagai jurnalis, tugas kita adalah terus menyuarakan kebenaran, tanpa gentar. Kalau nggak gitu, siapa lagi, dong?

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *