banner 728x250
Bisnis  

Saham Bank Jumbo Menguat, BBNI Pimpin Reli Sementara BBCA Masih Lesu

BBNI
banner 120x600
banner 468x60

BBNI – Sektor perbankan kembali menjadi motor penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis siang (11/9/2025). Tiga saham bank jumbo melesat tajam, namun salah satunya justru tertinggal di belakang.

BNI (BBNI) mencatat lonjakan paling tinggi dengan kenaikan 6,1% ke level Rp4.350 per saham. BRI (BBRI) ikut reli 5,15% ke posisi Rp4.080, sementara Bank Mandiri (BMRI) menguat 2,73% ke Rp4.520.

banner 325x300

Sebaliknya, BCA (BBCA) yang dikenal sebagai bank dengan kapitalisasi pasar terbesar hanya terapresiasi tipis 0,64% ke level Rp7.850 pada akhir sesi I. Padahal, sempat di awal perdagangan saham ini menanjak hingga 2,24% ke Rp7.975, namun penguatannya tidak bertahan lama.

BBNI Jadi Bintang Siang Ini

Reli tajam BBNI membuat sorotan pasar beralih ke saham bank pelat merah tersebut. Beberapa analis menilai kenaikan ini didorong oleh kombinasi faktor teknikal dan ekspektasi fundamental.

Sepanjang tahun berjalan, BBNI masih menjadi salah satu saham perbankan dengan valuasi relatif lebih murah dibanding BBCA. Investor juga mencermati kinerja solid BBNI, terutama dari sisi pertumbuhan kredit korporasi yang konsisten.

“Dari sisi price-to-book value (PBV), BBNI memang lebih rendah dibanding bank big four lainnya. Itu menjadi daya tarik tersendiri bagi investor asing maupun domestik,” jelas seorang analis perbankan yang enggan disebut namanya.

Mengapa BBCA Tertinggal?

Berbeda dengan BBNI, kinerja BBCA belakangan ini justru menunjukkan tanda perlambatan. Data kuartal II/2025 mencatat laba bersih BBCA hanya tumbuh 6,2% secara kuartalan (QoQ), melanjutkan tren pelemahan dalam empat kuartal berturut-turut.

Sepanjang semester I/2025, BBCA membukukan laba bersih Rp29 triliun, naik 8% secara tahunan. Meski angka tersebut tetap positif, pertumbuhannya melambat dibanding periode sebelumnya yang mampu mencapai dua digit.

Handiman, Managing Director Solstice Indonesia, menyebut meningkatnya rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) menjadi salah satu faktor penekan.

“Per Juni 2025, NPL BCA tercatat 2,2%, naik dari kuartal sebelumnya. Kondisi ini membuat beban provisi meningkat signifikan, dengan guidance Cost of Credit dinaikkan ke kisaran 0,3%-0,5%,” ujar Handiman dalam keterangan kepada CNBC Indonesia (8/9/2025).

Beban provisi bank-only BBCA bahkan melonjak 65% secara tahunan menjadi Rp1,9 triliun pada Juli 2025. Hal itu ikut menekan kinerja bottom line.

BACA JUGA: Kontroversi Saham BCA: Mengapa Ide Pengambilalihan Paksa Harus Dihentikan

Tekanan dari Arus Modal Asing

Selain faktor fundamental, tekanan jual terhadap BBCA juga berkaitan dengan arus modal asing. Data menunjukkan hingga 10 September 2025, BBCA mencatat net foreign sell terbesar senilai Rp26,74 triliun.

“BBCA sering menjadi proxy indeks karena kapitalisasi pasarnya yang dominan. Ketika terjadi risk-off global akibat pelemahan rupiah, geopolitik, atau kondisi makro eksternal, asing cenderung melepas saham ini,” ujar Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan.

Ekky menambahkan, tekanan jual ini lebih dipicu faktor eksternal ketimbang persoalan fundamental emiten. Dengan kata lain, meskipun kinerja BBCA melambat, investor tetap memandangnya sebagai bank dengan basis nasabah ritel terkuat di Indonesia.

Prospek Sektor Perbankan

Perbankan masih menjadi sektor andalan di pasar modal Indonesia. Bank-bank besar seperti BBNI, BBRI, BMRI, dan BBCA memiliki kontribusi signifikan terhadap pergerakan IHSG.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit per Juli 2025 tercatat 10,1% year-on-year. Sektor konsumsi, manufaktur, dan infrastruktur menjadi pendorong utama. Angka ini sejalan dengan tren pemulihan ekonomi domestik pasca-gejolak global.

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) dalam laporan terbarunya menyebut stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga. Likuiditas perbankan dinilai memadai, ditopang dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh stabil di kisaran 6%-7% yoy.

Bagaimana Strategi Investor?

Melihat dinamika ini, investor perlu mencermati bahwa meski BBNI, BBRI, dan BMRI sedang reli, saham-saham tersebut tetap rawan profit-taking setelah kenaikan tajam.

Sementara untuk BBCA, perlambatan kinerja dan tekanan asing menjadi tantangan jangka pendek. Namun bagi investor jangka panjang, valuasi dan reputasi BBCA sebagai bank ritel terbesar tetap menjadi daya tarik.

“Pergerakan saham bank jumbo sering kali tidak bergerak searah. Investor biasanya melakukan rotasi, mencari mana yang undervalued atau memiliki momentum pertumbuhan lebih cepat,” kata Oktavianus Audi, VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas.

Kesimpulan

Reli tiga bank jumbo memperlihatkan optimisme pasar terhadap sektor perbankan, dengan BBNI menjadi bintang siang ini. Namun, BBCA yang biasanya menjadi primadona justru masih tertinggal karena kombinasi faktor fundamental dan arus keluar modal asing.

Bagi investor, momen ini bisa menjadi sinyal penting untuk mengatur strategi, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Sektor perbankan Indonesia tetap menjanjikan, tetapi pemilihan timing dan diversifikasi portofolio akan menjadi kunci.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *