Animasi GIF vertikal panjang
Animasi GIF vertikal panjang
banner 728x250

Ketika TikTok Jadi Arena Politik: Antara Data, Protes, dan Sensor

TikTok Jadi Arena Politik
banner 120x600
banner 468x60

TikTok Jadi Arena Politik

TikTok Jadi Arena Politik – TikTok bukan lagi sekadar panggung bagi tarian singkat atau tren lucu berdurasi 15 detik. Dalam beberapa tahun terakhir, platform asal Tiongkok ini menjelma menjadi ruang publik baru — tempat ide, opini, dan bahkan propaganda politik saling bersaing untuk mendapatkan perhatian jutaan pengguna.

Fenomena ini membuat banyak pihak mulai menatap serius ke arah TikTok. Dari lembaga negara hingga lembaga riset internasional, semua mengakui satu hal: TikTok telah menjadi arena politik yang nyata.

banner 325x300

Dari Hiburan ke Isu Serius

Awalnya, TikTok dikenal sebagai platform hiburan ringan. Namun, sejak 2020, kontennya mulai berubah. Muncul video-video berisi kampanye sosial, ajakan memilih, hingga protes politik di berbagai negara.

Contohnya terlihat jelas saat gelombang protes Black Lives Matter di Amerika Serikat. Ribuan video dukungan beredar luas di TikTok, menyebar lebih cepat daripada di platform lain. Dari situ, banyak pengamat menyadari bahwa TikTok bukan hanya tempat tren menari — tetapi juga ruang bagi ekspresi politik generasi muda.

“TikTok telah menjadi saluran utama generasi Z untuk memahami dan menanggapi isu global,” kata Pew Research Center dalam laporan terbarunya soal perilaku digital anak muda Amerika. Laporan itu juga mencatat, 33% remaja AS kini mendapatkan informasi politik pertama kali dari TikTok.

Di Indonesia, Politik Juga Menyusup

Fenomena serupa mulai terasa di Indonesia, terutama menjelang masa-masa politik penting seperti Pemilu 2024. Konten politik berbalut hiburan membanjiri lini masa, mulai dari parodi kampanye hingga analisis ringan tentang isu nasional.

Menurut data Kominfo, pengguna aktif TikTok di Indonesia kini telah melampaui 120 juta akun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar TikTok di dunia — sekaligus membuka ruang luas bagi narasi politik untuk bertebaran di sana.

“Algoritma TikTok bekerja sangat cepat dalam menyebarkan konten yang memicu interaksi emosional. Inilah yang membuat isu politik bisa viral hanya dalam hitungan jam,” ujar pakar media sosial dari Universitas Gadjah Mada, Rulli Nasrullah, kepada Kompas (2024).

Antara Aksi dan Manipulasi

Namun, di balik semangat aktivisme digital itu, muncul kekhawatiran besar: bagaimana jika ruang politik di TikTok justru dimanipulasi?

Laporan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyoroti risiko penyebaran misinformasi politik yang sangat tinggi di TikTok. Banyak video politik yang menarik secara visual, tetapi tidak memiliki dasar fakta yang kuat.

Di sisi lain, sifat algoritma yang tertutup membuat pengguna sulit mengetahui mengapa konten tertentu muncul di feed mereka. “Kita tidak tahu apakah video itu populer secara organik atau karena ada dorongan tertentu,” tulis CSIS dalam laporan berjudul The Political Power of TikTok (2023).

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah TikTok benar-benar netral, atau justru memiliki bias politik tertentu di balik layar?

Pemerintah Mulai Waspada

Kekhawatiran semacam ini tak hanya muncul dari akademisi. Pemerintah di berbagai negara mulai mengambil langkah antisipatif.

Amerika Serikat, misalnya, telah melarang penggunaan TikTok di perangkat pemerintah federal karena alasan keamanan data. Sementara itu, Uni Eropa menekan ByteDance — perusahaan induk TikTok — untuk lebih transparan dalam pengelolaan data pengguna dan moderasi konten.

Di Indonesia, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Kementerian Kominfo juga memantau potensi penyalahgunaan TikTok menjelang pesta demokrasi. “Kami terus berkoordinasi dengan platform digital untuk memastikan ruang digital tidak digunakan untuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian politik,” ujar perwakilan Kominfo dalam siaran pers resmi (2024).

Sensor dan Tantangan Kebebasan Berekspresi

TikTok menghadapi dilema besar: menjaga ruang aman tanpa mematikan kebebasan berekspresi.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa TikTok kerap melakukan shadow banning terhadap konten politik yang dianggap sensitif. Misalnya, pada masa protes di Hong Kong, banyak pengguna mengaku video mereka tiba-tiba hilang atau tidak lagi muncul di beranda.

TikTok sendiri membantah tuduhan tersebut. Dalam pernyataan resminya, perusahaan menyebut kebijakan moderasi dilakukan untuk melindungi pengguna dari “konten yang berpotensi memicu kekerasan atau disinformasi.”

Namun, kelompok pegiat digital menilai batas antara moderasi dan sensor masih terlalu kabur. “Kita membutuhkan transparansi algoritma. Tanpa itu, kebebasan berekspresi di dunia digital bisa sangat mudah dibatasi tanpa alasan jelas,” ujar Digital Rights Watch Indonesia dalam sebuah diskusi publik.

Ketika Generasi Z Jadi Penonton Sekaligus Aktor

Salah satu faktor yang membuat fenomena ini menarik adalah karakter penggunanya. Generasi Z tumbuh dalam budaya visual yang cepat, emosional, dan penuh kreativitas.

Mereka tidak hanya mengonsumsi konten politik — mereka juga menciptakannya. Dari video parodi kandidat, klip pidato yang diedit ulang, hingga analisis ringan dengan gaya santai, semua bisa viral dalam semalam.

Menurut survei internal TikTok for Business Indonesia, 65% pengguna di bawah usia 30 tahun menyatakan tertarik dengan isu sosial dan politik. Artinya, platform ini kini memegang peran strategis dalam membentuk opini publik muda.

Data Jadi Senjata Baru

Selain opini, data pengguna TikTok kini juga menjadi isu geopolitik global. Beberapa negara menilai, data lokasi dan perilaku pengguna dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik luar negeri.

Bahkan, laporan NASA Jet Propulsion Laboratory (JPL) yang menyoroti keamanan data berbasis lokasi untuk misi ruang angkasa turut menyinggung potensi kebocoran informasi dari aplikasi populer seperti TikTok. Walaupun konteksnya bukan politik langsung, hal itu menegaskan satu hal: data digital kini adalah aset paling berharga — dan paling rentan.

Masa Depan Arena Politik Digital

TikTok, suka atau tidak, telah mengubah cara politik berinteraksi dengan publik. Dari ruang debat formal di televisi, kini isu politik beradu di layar ponsel.

Pertanyaannya: apakah masyarakat siap menghadapi dinamika ini? Apakah publik bisa membedakan antara aktivisme digital yang otentik dan manipulasi algoritmik?

Para ahli komunikasi politik menilai, literasi digital adalah kunci. Tanpa pemahaman yang baik, masyarakat mudah terbawa arus narasi yang tak selalu benar.

“Generasi muda perlu didorong untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga kritis terhadap informasi yang mereka temukan di media sosial,” kata Dr. Irine Gayatri, peneliti politik digital dari LIPI (kini BRIN).

Kesimpulan: Politik Tak Lagi Hanya di Parlemen

TikTok telah membuka babak baru dalam komunikasi politik global. Ia mempertemukan kekuatan massa muda, algoritma cerdas, dan dinamika sosial dalam satu wadah yang nyaris tak terkontrol.

Ketika “TikTok jadi arena politik,” maka ruang publik digital berubah menjadi gelanggang baru bagi ide dan pengaruh.

Dalam gelanggang ini, siapa pun bisa bicara. Tapi hanya mereka yang mampu memadukan fakta, kreativitas, dan integritas digital yang akan bertahan di tengah hiruk pikuk algoritma.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *