Gelombang Baru Wisata: Nostalgia dan Alam Bertemu di 2025
Tren Wisata 2025 – Langit wisata Indonesia tengah berubah warna. Tahun 2025 diprediksi bukan sekadar tentang liburan, tapi tentang pulang ke akar—ke masa di mana kesederhanaan, alam, dan nostalgia berjalan beriringan. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya minat wisatawan terhadap destinasi bertema retro ala tahun 90-an, berpadu dengan konsep sustainable travel atau wisata berkelanjutan.
Dari pantai hingga pegunungan, dari kafe berdesain klasik hingga glamping ramah lingkungan, tren wisata 2025 menunjukkan bahwa wisatawan kini tak hanya mencari “tempat”, tapi juga “makna”.
Nostalgia 90-an: Liburan yang Menghidupkan Kenangan
Siapa sangka, aroma kaset pita dan lampu neon kembali jadi magnet pariwisata? Di era digital serba cepat ini, generasi muda justru mencari pengalaman yang vintage. Wisata bernuansa 90-an — lengkap dengan dekorasi retro, musik lawas, dan gaya berpakaian klasik — sedang naik daun.
Kota-kota seperti Bandung dan Yogyakarta menjadi pionir. Banyak kafe dan homestay yang mendesain ulang interior mereka menyerupai ruang tamu era 1990-an — lengkap dengan televisi tabung, poster film lama, hingga furnitur kayu sederhana.
Menurut data Google Trends, pencarian terkait “tempat aesthetic retro” dan “kafe nuansa 90an” melonjak hingga 40% pada paruh kedua tahun 2024. Ini pertanda jelas: nostalgia kini menjadi bentuk pelarian paling manis dari hiruk pikuk zaman modern.
Wisata Ramah Lingkungan: Bukan Tren, Tapi Tanggung Jawab
Namun di sisi lain, wisata 2025 juga menggeliat ke arah yang jauh lebih sadar: ramah lingkungan. Kesadaran terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan kini menjadi pertimbangan utama sebelum wisatawan memesan tiket.
Menurut laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), lebih dari 60% wisatawan domestik kini memilih penginapan yang menerapkan prinsip ramah lingkungan—mulai dari pengurangan plastik sekali pakai, penggunaan energi surya, hingga pengelolaan sampah mandiri.
Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, tren cuaca ekstrem akibat pemanasan global membuat beberapa destinasi wisata harus beradaptasi. “Kondisi cuaca yang tidak menentu mendorong sektor pariwisata untuk lebih adaptif dan berkelanjutan,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam sebuah pernyataan resmi.
Dari situ, muncul gelombang baru: wisatawan yang tak hanya berlibur, tapi juga belajar — tentang alam, konservasi, dan keseimbangan.
Destinasi Paling Dicari 2025: Alam, Budaya, dan Edukasi
Bila tahun-tahun sebelumnya Bali selalu menjadi primadona, 2025 tampaknya membuka panggung bagi destinasi baru. Labuan Bajo, Toba, Wakatobi, dan Likupang mulai bersinar lewat paket wisata berbasis pengalaman lokal.
Wisatawan kini ingin “merasakan”, bukan sekadar “melihat”. Mereka ingin tidur di rumah warga, memetik kopi di lereng gunung, atau belajar menenun dari pengrajin lokal. Community-based tourism atau wisata berbasis masyarakat menjadi kunci.
Di Desa Penglipuran, Bali, misalnya, konsep ini sudah lama diterapkan. Pengunjung diajak hidup berdampingan dengan warga lokal, ikut menjaga kebersihan, hingga berpartisipasi dalam kegiatan adat. Hasilnya? Desa ini kembali masuk daftar salah satu desa terbersih di dunia tahun 2024.
Digital Nomad dan “Slow Travel” Makin Populer
Tren bekerja sambil berlibur atau workation juga belum padam. Tahun 2025 justru memperkuat fenomena ini dengan lahirnya istilah baru: slow travel.
Wisatawan kini lebih suka tinggal lebih lama di satu tempat, menikmati ritme harian masyarakat lokal, ketimbang berpindah-pindah destinasi cepat-cepat. Internet cepat dan coworking space di daerah wisata seperti Ubud, Lombok, dan Flores menjadi daya tarik tersendiri bagi digital nomad dari berbagai negara.
Menurut UN Tourism (sebelumnya UNWTO), “slow travel” bukan hanya ramah lingkungan, tapi juga meningkatkan ekonomi lokal hingga 30% karena wisatawan lebih banyak berinteraksi dan berbelanja langsung di masyarakat sekitar.
Teknologi dan AI: Membentuk Cara Baru Berwisata
Tak bisa dipungkiri, teknologi juga menjadi tulang punggung tren wisata 2025. Dari aplikasi pemesanan perjalanan berbasis AI hingga virtual tour yang memungkinkan calon wisatawan “mencoba” pengalaman sebelum berangkat.
Misalnya, beberapa startup pariwisata di Indonesia mulai menawarkan AI itinerary planner — asisten digital yang bisa menyesuaikan rencana perjalanan berdasarkan preferensi pengguna, cuaca real-time dari BMKG, hingga tingkat kepadatan pengunjung.
Dengan begitu, pengalaman liburan menjadi lebih personal, efisien, dan ramah lingkungan karena mengurangi perjalanan yang tidak perlu.
Pariwisata Hijau: Dari Kebijakan ke Gaya Hidup
Pemerintah Indonesia juga tak tinggal diam. Melalui Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2025–2045, pemerintah menargetkan peningkatan destinasi wisata hijau dan inklusif di seluruh daerah.
Salah satu langkah nyata adalah mendorong sertifikasi eco-label untuk hotel dan operator wisata. Hotel yang menggunakan energi terbarukan, meminimalkan limbah, dan memberdayakan masyarakat lokal kini mendapat insentif khusus.
“Pariwisata masa depan bukan hanya soal kunjungan, tapi soal keberlanjutan,” tegas Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, dalam siaran pers awal tahun ini.
Masa Depan Wisata Indonesia: Harmoni antara Kenangan dan Kesadaran
Jika harus dirangkum dalam satu kalimat, Tren Wisata 2025 adalah tentang menemukan keseimbangan antara nostalgia dan keberlanjutan. Di satu sisi, wisatawan ingin kembali ke masa lalu — ke momen yang hangat, sederhana, dan personal. Di sisi lain, mereka tak ingin mengorbankan bumi untuk kesenangan sesaat.
Indonesia, dengan keindahan alam dan kekayaan budaya yang nyaris tak tertandingi, punya peluang besar untuk memimpin perubahan ini.
Bayangkan: berjalan di jalanan batu tua dengan aroma tanah basah, disambut senyum hangat warga desa, sambil di kejauhan terdengar lagu 90-an dari radio bambu. Begitulah wajah wisata Indonesia di 2025 — bukan sekadar perjalanan, tapi pertemuan antara masa lalu dan masa depan.