Ziam – Jika Anda berpikir genre film zombie sudah kehabisan napas, bersiaplah untuk berubah pikiran. Netflix datang membawa kejutan berdarah-darah lewat Ziam, sebuah tontonan aksi-horor yang bukan hanya mengocok adrenalin, tapi juga menyuntikkan kehidupan baru ke dalam genre yang sering dianggap usang.
Bayangkan ini: gerombolan zombie liar, dunia distopia yang kejam, dan seorang mantan petarung Muay Thai yang melawan semua itu hanya dengan tangan kosong. Rasanya seperti menonton pernikahan absurd antara 28 Years Later dan The Raid—dengan hasil akhir yang mengguncang nadi dan membuat Anda sulit berpaling.
Dunia yang Runtuh, Harapan yang Rapat-Rapat Dipegang
Kisah Ziam dimulai di sebuah masa depan yang sunyi dan kelam, tempat harapan digantikan oleh kelangkaan makanan, dan manusia saling berebut secuil hidup yang tersisa. Di tengah kekacauan itu, Singh (diperankan dengan intensitas membara oleh Prin Suparat), seorang mantan petarung profesional Muay Thai, mencoba bertahan hidup bersama kekasihnya, Rin (Nychaa-Nuttanicha Dungwattanawanich), seorang tenaga medis yang bekerja di rumah sakit yang sudah seperti zona perang.
Mereka berdua menyimpan mimpi kecil untuk kabur dari reruntuhan kota menuju tempat yang lebih layak. Tapi seperti dalam setiap kisah heroik yang melibatkan zombie, segalanya berubah dalam sekejap ketika rumah sakit tempat Rin bekerja menjadi pusat penyebaran wabah yang mengubah manusia menjadi makhluk buas pemakan daging.
Mayat Hidup, Tendangan Mati
Apa yang membedakan Ziam dari deretan film zombie lainnya bukanlah alur ceritanya—yang relatif klise dan dapat ditebak. Melainkan caranya menyajikan kekerasan: brutal, tanpa jeda, dan sangat fisikal. Ini bukan tentang orang-orang menembak zombie dari jarak jauh. Tidak ada peluru bertebaran atau granat yang dilempar sembarangan.
Singh menghadapi teror langsung dari depan, dengan tangan kosong dan kaki yang ditempa selama bertahun-tahun latihan. Ziam tidak menawarkan jarak emosional antara penonton dan horor. Ia menyeret kita masuk, memaksa kita menyaksikan setiap serangan, setiap darah yang muncrat, dan setiap jeritan ketakutan.
Ketika Seni Bertarung Jadi Bahasa Bertahan Hidup
Apa jadinya jika Muay Thai menjadi satu-satunya alat bertahan di dunia yang dikuasai zombie? Ziam menjawab pertanyaan ini dengan brutal dan penuh gaya. Koreografi pertarungan dalam film ini begitu terstruktur dan penuh estetika, seakan setiap gerakan adalah tarian kematian. Kita melihat Singh menendang, memutar, menghantam, dan menaklukkan para mayat hidup seperti seorang seniman panggung yang kehilangan panggung—dan kini mengekspresikan diri lewat kekacauan.
Saat Singh menyusup ke rumah sakit demi menyelamatkan Rin, ia tak hanya harus melawan para zombie, tapi juga berbagai kekuatan manusia yang tak kalah berbahaya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang anak yatim piatu bernama Buddy (Vayla-Wanvayla Boonnithipaisit), yang kemudian menjadi titik balik emosional dalam perjalanan Singh.
Efek Nyata, Rasa Nyata
Satu hal yang membuat Ziam terasa lebih “nyata” dibanding banyak film zombie modern lainnya adalah pendekatan praktis yang digunakan. Bukannya mengandalkan CGI murahan, Netflix memilih jalan klasik—makeup efek khusus dan prostetik yang membuat setiap zombie tampak menjijikkan sekaligus memikat. Luka menganga, wajah membusuk, dan gerakan pincang yang realistis menciptakan atmosfer horor yang mendalam.
Tak heran jika banyak adegan terasa menggigit—secara harfiah dan emosional. Kamera tidak berputar cepat demi menutupi aksi. Sebaliknya, ia diam menyaksikan, memberi kita cukup waktu untuk meresapi setiap gerakan, setiap teriakan, dan setiap pukulan yang mendarat.
Ketegangan Tak Berkesudahan Hingga Matahari Terbit
Seiring narasi berjalan, konflik dalam Ziam berkembang tak hanya secara fisik, tapi juga sosial. Kita diperkenalkan pada kelompok polisi bersenjata yang lebih sibuk melindungi satu eksekutif penting ketimbang ratusan warga biasa yang terjebak. Sekali lagi, pertanyaan klasik dilemparkan ke penonton: Siapa yang pantas diselamatkan ketika dunia terbakar?
Tak berhenti di sana, film ini juga memperlihatkan sisi gelap militer yang tanpa ragu ingin menghancurkan rumah sakit lewat serangan udara demi menghentikan penyebaran virus—tanpa peduli siapa yang ikut hancur bersamanya.
Pertarungan klimaks di atas atap, dengan cahaya matahari pagi menyinari darah yang masih menetes dari luka-luka, menjadi penutup yang nyaris puitis. Momen ini bukan hanya pertarungan hidup-mati, tapi juga perwujudan terakhir dari cinta, harapan, dan keberanian yang selama ini dibungkam.
Antara Klise dan Karisma
Meski menawarkan aksi yang memukau, Ziam tak sepenuhnya lepas dari belenggu formula klasik. Hubungan antara Singh dan Buddy terasa seperti deja vu—sosok ayah pengganti yang bertekad melindungi anak tak berdosa di tengah kiamat. Tema ketimpangan sosial dan eksploitasi juga disajikan dengan cara yang cukup harfiah, tanpa banyak ruang untuk interpretasi.
Namun anehnya, Ziam tetap berhasil memikat. Karena dalam dunia yang hancur ini, kita tidak mencari logika. Kita mencari harapan. Dan Singh, dengan tinjunya yang keras dan hatinya yang lembut, menawarkan secercah cahaya dalam gelap yang pekat.
Sekadar Pesta Darah? Mungkin. Tapi Pesta yang Menghibur
Dengan durasi hanya sekitar 90 menit, Ziam tidak membuang-buang waktu. Setelah pengenalan karakter yang cukup padat, film ini melesat cepat ke dalam kekacauan. Saat darah mulai mengalir, Anda tidak akan sempat memeriksa ponsel atau ke dapur untuk mengambil camilan.
Apakah cerita akhirnya masuk akal? Tidak selalu. Apakah penutupnya sedikit terlalu dramatis dan meninggalkan celah untuk sekuel? Mungkin. Tapi apakah Anda akan menyesal menontonnya? Sangat kecil kemungkinannya.
Ziam – Nama yang Harus Anda Ingat
Sepanjang film, Ziam menjadi lebih dari sekadar judul. Ia adalah simbol perlawanan, nama bisu dari dunia yang mencoba bertahan lewat cara apa pun. Kata itu berulang kali muncul, seperti mantra yang menghidupkan kembali gairah genre yang sempat tenggelam dalam klise.
Dan jika Netflix memutuskan untuk melanjutkan kisah ini—entah lewat prekuel atau sekuel—bisa dipastikan bahwa kita akan mendengar nama Ziam berkali-kali lagi di masa depan.
Penutup: Untuk Penggemar Darah dan Dentuman
Bagi Anda yang mencari tontonan cerdas dan reflektif, Ziam mungkin bukan jawabannya. Tapi jika yang Anda butuhkan adalah ledakan kekerasan koreografi, nuansa horor yang kental, dan protagonis yang bertarung bukan dengan peluru, tapi dengan jiwa, maka bersiaplah untuk terpikat.
Ziam tersedia sekarang di Netflix, dan layak menjadi pilihan pertama dalam daftar film horor-aksi Anda minggu ini. Jangan lupa siapkan perut yang kuat—dan mungkin sedikit keberanian untuk menatap layar tanpa berkedip.