Pentas Budaya menjadi fokus utama saat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta menghadirkan rangkaian pertunjukan seni di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Kamis malam (4/12/2025). Acara ini bukan sekadar panggung seni, melainkan ruang perjumpaan antara budaya, sejarah, dan masyarakat yang ingin merawat identitas bangsa.
Hujan deras mengguyur kawasan Gunung Padang sejak siang, memaksa panitia memindahkan panggung dari area terbuka ke Pendopo Gunung Padang. Meski begitu, atmosfer acara tetap terasa hangat. Suasana justru menjadi lebih intim karena jarak antara seniman dan penonton semakin dekat.
Seorang petugas BMKG yang hadir di lokasi menjelaskan bahwa hujan harian intens di kawasan Cianjur pada awal Desember merupakan pola alamiah. “Curah hujan meningkat memang menjadi karakteristik awal musim hujan di Jawa Barat, terutama di wilayah pegunungan,” ujar pengamat cuaca BMKG itu, memberi konteks atas kondisi cuaca yang menemani jalannya acara tersebut.
Pembuka Sakral dari Sape
Pertunjukan dibuka dengan denting Sape, alat musik petik tradisional masyarakat Dayak. Duet Ghodiel Sapeq dan Arke Nurdjatni Soedjatno dari grup SlarasBudaya menghadirkan nada-nada yang mengalir pelan namun kuat. Suara Sape beresonansi dalam ruang pendopo yang semi-terbuka, seolah memanggil kesadaran penonton untuk menenangkan diri dan menyelami makna perjalanan budaya Nusantara.
Meski panggung dipindahkan, aura pertunjukan tak berkurang. Justru, gema instrumen tradisional itu mengisi ruang dengan intensitas yang sulit ditangkap ketika dimainkan di area luar. Beberapa tamu mengaku merasakan “keteduhan mendalam” yang sulit dijelaskan, seakan energi Gunung Padang menyatu dengan alunan musik.
Situs megalitik ini memang sering dikaitkan dengan narasi spiritual dan penelitian arkeologis. NASA dalam salah satu publikasi umum terkait studi geospasial pernah menegaskan pentingnya pelestarian situs-situs purba sebagai bukti perkembangan peradaban. Pernyataan itu relevan dengan momentum pentas budaya ini, karena seni menjadi jembatan untuk merayakan kekayaan sejarah yang tersimpan di Gunung Padang.
Tari Bedhoyo Nawasena: Pesan Harapan untuk Masa Depan
Setelah suasana terbangun melalui alunan Sape, panggung kemudian memasuki babak berikutnya: Tari Bedhoyo Nawasena. Karya Perkumpulan Arkamaya Sukma tersebut digarap oleh Martini Brenda dengan iringan musik rancangan Lumbini Tri Hasto.
Tujuh penari—Lina Agung, Ragil Endang Srimulyani, Elisabeth Kusuma Indreswari, Ipung Purwanti, Martini Brenda, Mustika Handayani, dan Tiana Poesponegoro Soeharto—membawakan tarian klasik Jawa dengan pendekatan modern. Gerak halus, formasi rapi, dan ekspresi lembut para penari menciptakan harmoni yang memikat penonton sejak awal.
Bedhoyo Nawasena bukan hanya pementasan visual yang indah. Di dalamnya tersimpan pesan tentang keselamatan, kesadaran diri, dan arah perjalanan bangsa. Istilah nawasena sendiri merujuk pada “masa depan” atau “harapan baru”, sebuah simbolisasi yang terasa pas ketika dibawakan di tengah situs prasejarah terbesar di Asia Tenggara.
“Gerak Bedhoyo selalu membawa unsur keteduhan, namun pada koreografi Nawasena, kami ingin menyisipkan optimisme,” ujar Martini Brenda usai pementasan. Ia menambahkan bahwa Gunung Padang menjadi ruang ideal untuk mengekspresikan pesan tersebut karena lokasi itu menghadirkan dialog antara masa lampau dan masa depan.
Ruang Pertemuan Sejarah dan Kreativitas
Pentas Budaya yang digelar PWI Jakarta bukan acara seni semata. Ia menjadi ruang pertemuan antara tradisi dan modernitas. Di satu sisi, panggung menghadirkan karya seni yang berakar pada budaya Nusantara. Di sisi lain, lokasinya berada di situs sejarah yang menantang manusia masa kini untuk mengingat kembali akar peradaban.
Gunung Padang telah lama menjadi objek kajian. Peneliti geologi, arkeologi, hingga ahli geomatika dari berbagai lembaga pernah mengkaji struktur batuan, lapisan tanah, dan interpretasi sejarahnya. Meski teori peradaban purba masih menjadi ruang diskusi panjang, para ilmuwan sepakat bahwa situs ini adalah salah satu titik terpenting dalam narasi sejarah Indonesia.
NASA dalam sejumlah publikasi edukatif mengenai penginderaan jauh menekankan bahwa situs-situs arkeologis memiliki nilai ilmiah tinggi karena menyimpan bukti perubahan alam dan aktivitas manusia selama ribuan tahun. Melalui perspektif ini, kehadiran pentas seni justru memperkaya keberadaan situs, menghubungkan temuan ilmiah dengan ekspresi budaya masyarakat kini.
Cuaca yang Menjadi Bagian Cerita
Hujan deras pada malam acara menjadi elemen penting dalam dinamika pementasan. Alih-alih menjadi kendala, kondisi ini justru menambah lapisan cerita tersendiri. Rintik hujan yang terdengar dari atap Pendopo Gunung Padang menghadirkan nuansa dramatis dan menegaskan bahwa acara berlangsung di tengah lanskap alam yang hidup.
BMKG sebelumnya telah mengingatkan bahwa awal Desember 2025 akan ditandai oleh pola hujan intens di sebagian besar Jawa Barat, termasuk Cianjur. “Peningkatan curah hujan dipicu oleh penguatan monsun Asia dan aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO) yang memasuki fase aktif,” ungkap salah satu analis BMKG dalam laporan bulanan yang dirilis publik.
Informasi tersebut selaras dengan pengalaman para tamu malam itu. Meski basah oleh hujan saat menuju lokasi, mereka tetap antusias, menunjukkan bagaimana budaya mampu mengalahkan ketidaknyamanan cuaca.
Menghidupkan Situs melalui Seni
PWI Jakarta menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya untuk memperkuat peran jurnalis dalam mempromosikan kekayaan budaya Indonesia. Pementasan di Gunung Padang diharapkan tidak hanya menjadi pertunjukan sekali waktu, tetapi juga pemantik kerja sama lanjutan antara pekerja media, seniman, dan pengelola situs sejarah.
Beberapa seniman menilai Gunung Padang memberi inspirasi unik yang berbeda dari panggung-panggung seni lainnya. Ada energi alam yang kuat, ruang terbuka yang luas, dan sejarah panjang yang menyusup dalam setiap langkah di lokasi tersebut. Ketika seni hadir di sana, terjadi perpaduan antara kreativitas dan alam yang menghasilkan pengalaman mendalam bagi siapa pun yang hadir.
Para penonton pun merasakan hal yang sama. Banyak yang mengabadikan momen melalui ponsel mereka, menangkap kombinasi cahaya panggung, batuan purba, dan gerakan penari yang menyatu dalam satu bingkai visual.
Menatap Agenda Pentas Budaya Berikutnya
Pentas Budaya di Gunung Padang menjadi bukti bahwa seni dapat menghadirkan dialog lintas ruang dan generasi. Bagi penyelenggara, acara ini menjadi permulaan untuk menghadirkan lebih banyak agenda budaya yang mampu memperkuat identitas bangsa. Bagi masyarakat, ini adalah pengingat bahwa kekayaan sejarah tidak hanya tersimpan dalam museum, tetapi juga dapat dihidupkan kembali melalui karya seni.
Dengan dukungan berbagai pihak—institusi budaya, media, peneliti, hingga masyarakat setempat—pentas semacam ini berpotensi menjadi agenda tahunan. Gunung Padang bukan sekadar latar, melainkan bagian dari cerita yang terus berkembang.
Pada akhirnya, Pentas Budaya di situs prasejarah ini menunjukkan bahwa seni tetap mampu bersinar di tengah hujan, angin, dan dinginnya malam. Justru di sanalah keindahan itu hadir: seni yang merayakan masa lalu sambil menatap masa depan.






