Keadilan Pekerja Di Ambang Pintu Kemenangan Mahkamah Konstitusi Harus Hapus Praktik Penahanan Ijazah dan Ubah Syarat TOEFL

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi Warga bernama Hanter Oriko Siregar mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penerapan syarat Test of English as a Foreign Language (TOEFL) dalam penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan proses pencarian kerja di Indonesia. Selain itu, dalam sidang yang berlangsung pada Senin (2/12/2024) di Gedung MK, Hanter juga mengajukan permohonan tambahan yang cukup kontroversial. Ia meminta MK untuk melarang perusahaan menahan ijazah pekerja sebagai bagian dari persyaratan kerja.

Permohonan Perubahan Syarat TOEFL dan Penekanan Pada Bahasa Indonesia Mahkamah Konstitusi

Dalam sidang yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, Hanter menyampaikan perbaikan pada permohonannya yang berfokus pada dua isu utama. Pertama, Hanter menilai bahwa syarat penguasaan bahasa asing seperti TOEFL dalam proses penerimaan ASN dan pekerjaan di Indonesia merendahkan jati diri bangsa dan bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap konstitusi. Menurutnya, pengutamaan bahasa asing dalam dunia kerja tidak sesuai dengan nilai kebangsaan Indonesia yang seharusnya lebih menghargai penggunaan bahasa Indonesia.

“Indonesia memiliki nilai yang diakui dunia. Seharusnya ada aturan yang mewajibkan Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sebagai syarat wajib untuk bekerja di Indonesia, bukan malah memprioritaskan penguasaan bahasa asing,” ujar Hanter dalam sidang.

Hanter menegaskan bahwa UKBI, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, sudah tersedia dan dapat digunakan untuk mengukur kemahiran bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan. Oleh karena itu, seharusnya UKBI, dan bukan TOEFL atau ujian bahasa asing lainnya, yang menjadi acuan utama dalam penilaian kemampuan berbahasa dalam dunia kerja di Indonesia.

Permintaan Larangan Penahanan Ijazah oleh Perusahaan

Selain perubahan terhadap syarat bahasa, Hanter juga menambahkan permintaan baru dalam petitumnya, yaitu untuk melarang perusahaan menahan ijazah pekerja. Menurutnya, praktik ini sangat merugikan pekerja karena ijazah merupakan dokumen penting yang menjadi hak pekerja dan bukan milik perusahaan. Dalam hal ini, Hanter meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perusahaan tidak diperbolehkan untuk menahan ijazah sebagai salah satu persyaratan kerja.

Permohonan ini cukup signifikan mengingat banyak perusahaan di Indonesia yang mewajibkan karyawan untuk menyerahkan ijazah atau dokumen pendidikan lainnya pada saat penandatanganan kontrak kerja, dengan alasan untuk menjamin komitmen pekerja. Namun, praktik ini sering kali dianggap merugikan pekerja dan tidak sesuai dengan hak mereka atas kebebasan administratif atas dokumen penting seperti ijazah.

Perbaikan Petitumnya dalam Sidang

Hanter kemudian membacakan perbaikan petitumnya yang mencakup sejumlah permintaan konkret kepada Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah poin-poin penting dari petitumnya yang telah diperbaiki:

Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya, yakni agar Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan yang dianggap merugikan tersebut.

Menyatakan Pasal 35E ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal ini dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak mengatur bahwa perusahaan dilarang mewajibkan penguasaan bahasa asing sebagai syarat wajib untuk bekerja. Selain itu, perusahaan juga harus diwajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai komunikasi resmi di lingkungan kerja.

Menyatakan Pasal 37 dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 jika mewajibkan penggunaan bahasa asing sebagai syarat mutlak untuk melamar menjadi pegawai ASN. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan semangat konstitusi yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia.
Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Acara Republik Indonesia.
Dalam hal Mahkamah berpendapat lain, Hanter juga memohon agar putusan diambil secara adil dan bijaksana (ex aequo et bono).

Kontroversi dan Respons Publik

Permohonan Hanter Oriko Siregar ini memicu reaksi beragam dari publik. Sebagian pihak mendukung gagasan tersebut, terutama dalam konteks penghargaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang seharusnya diutamakan dalam dunia kerja. Mereka berpendapat bahwa kebijakan yang mewajibkan penguasaan bahasa asing seperti TOEFL hanya akan menguntungkan segelintir orang yang memiliki akses untuk belajar bahasa asing, sementara banyak orang Indonesia yang seharusnya bisa berkarir di tanah air tanpa syarat-syarat yang membebani.

Namun, ada juga pihak yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa asing tetap menjadi hal yang penting, terutama di dunia global yang semakin terhubung. Di sektor-sektor tertentu, kemampuan berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dianggap sebagai nilai tambah yang membantu pekerja bersaing di pasar internasional.

Perspektif Hukum dan Implikasi Kebijakan

Dalam perspektif hukum, permohonan Hanter menyoroti sejumlah pasal dalam undang-undang yang dapat dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan hak pekerja. Terutama dalam konteks kebebasan berpendidikan dan hak atas pekerjaan, yang harus sejalan dengan konstitusi. Jika MK mengabulkan gugatan ini, hal tersebut dapat menjadi preseden penting dalam penerapan kebijakan tenaga kerja dan perekrutan di Indonesia, terutama dalam hal perlakuan terhadap pekerja dan penggunaan bahasa dalam lingkungan kerja.

Namun, di sisi lain, ada potensi bahwa pengaturan yang lebih ketat terhadap persyaratan bahasa asing bisa mengurangi daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Oleh karena itu, keputusan MK dalam perkara ini akan sangat menentukan arah kebijakan ketenagakerjaan dan perekrutan ASN di Indonesia ke depan.

Kesimpulan

Gugatan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar kepada Mahkamah Konstitusi ini membawa dua isu utama ke permukaan, yaitu pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia kerja dan larangan bagi perusahaan untuk menahan ijazah pekerja. Perkara ini akan menjadi tonggak penting dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan dan perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia, serta menjadi pembahasan penting terkait kebijakan bahasa yang berlaku di negara ini. Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai hal ini diperkirakan akan berdampak luas bagi dunia kerja di Indonesia, baik dari sisi kebijakan perekrutan maupun perlindungan hak pekerja.

Exit mobile version