Surplus Membaik, Namun Neraca Pembayaran Masih Tertekan
Neraca Transaksi Berjalan – Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali mencatat defisit pada kuartal III-2025. Meski defisit belum hilang sepenuhnya, tekanan mulai mereda berkat membaiknya neraca transaksi berjalan yang akhirnya mencatat surplus setelah lebih dari dua tahun berada di zona negatif.
Dalam laporan resmi Bank Indonesia (BI), defisit NPI kuartal III-2025 mencapai US$6,38 miliar, mengecil dari posisi kuartal sebelumnya yang sebesar US$6,74 miliar. Artinya, beban defisit berhasil dipangkas sekitar US$359 juta.
Perbaikan ini terutama digerakkan oleh lonjakan ekspor nonmigas dan membaiknya neraca pendapatan primer. Namun, cerita umumnya tidak sesederhana itu. Ketika transaksi berjalan membaik, arus investasi langsung justru tegas menunjukkan tren pelemahan.
Surplus Pertama Setelah 10 Kuartal: Titik Balik atau Sekadar Sekejap?
Untuk pertama kalinya sejak kuartal I-2023, Indonesia menorehkan surplus transaksi berjalan. Nilainya mencapai US$4,04 miliar, setara dengan 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bila dibandingkan kuartal II-2025 yang masih defisit US$2,74 miliar, lonjakan ini tergolong dramatis. Dalam hitungan kuartal, perbaikannya mencapai sekitar US$6,8 miliar—angka yang jarang muncul dalam laporan transaksi eksternal Indonesia.
Selama satu dekade terakhir, neraca transaksi berjalan memang sering menjadi titik rawan. Tidak jarang ekonom menyebutnya “hantu” ekonomi karena defisit berkepanjangan dapat melemahkan kepercayaan investor dan membuat rupiah lebih rentan terhadap guncangan eksternal.
Indonesia bahkan pernah mengalami periode panjang defisit transaksi berjalan dari 2011 hingga 2020. Situasi itulah yang membuat capaian surplus pada kuartal III ini terasa signifikan.
Bank Indonesia dalam rilis resminya menegaskan:
“Peningkatan surplus neraca perdagangan barang terutama karena kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas meningkat seiring antisipasi eksportir terhadap penerapan tarif resiprokal AS.”
Kinerja ekspor yang menopang surplus tersebut berasal dari berbagai komoditas unggulan. Besi baja yang dikirim ke China, minyak sawit (CPO) ke India, serta produk mesin listrik ke Amerika Serikat menjadi penopang utama. Di sisi lain, impor nonmigas tetap berada dalam batas yang sehat sehingga tidak mengikis surplus perdagangan.
Jasa dan Pendapatan Primer Turut Sumbang Perbaikan
Perbaikan neraca transaksi berjalan bukan hanya soal barang. Neraca jasa juga berkontribusi setelah defisitnya menyempit menjadi US$4,31 miliar, turun dari US$5,21 miliar pada kuartal sebelumnya. Salah satu faktor penopangnya adalah peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara yang mendorong ekspor jasa perjalanan.
Sementara itu, defisit pendapatan primer menurun seiring lebih kecilnya pembayaran imbal hasil investasi asing. Pada kuartal-kuartal sebelumnya, pembayaran dividen dan kupon obligasi menekan posisi cadangan devisa.
Surplus neraca pendapatan sekunder pun tetap stabil, berkat remitansi Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terjaga mengalir masuk sepanjang 2025.
Data dari BI tersebut menunjukkan bahwa surplus transaksi berjalan kali ini bukan fenomena tunggal, melainkan perpaduan membaiknya beberapa komponen sekaligus.
Ancaman Diam-Diam: Investasi Langsung Terus Menurun
Di tengah kabar menggembirakan soal transaksi berjalan, ada satu indikator yang perlu mendapat perhatian serius: arus investasi langsung (FDI).
Pada kuartal III-2025, investasi langsung asing yang masuk hanya US$2,46 miliar, turun tajam dibandingkan US$3,53 miliar pada kuartal sebelumnya. Pola penurunan ini bahkan telah terlihat sejak kuartal IV-2024—periode awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Padahal, setahun sebelumnya, tepatnya pada kuartal III-2024, FDI sempat mencapai puncaknya di US$5,09 miliar. Setelah penurunan tajam memasuki 2025, pemulihan terlihat sesaat pada kuartal II, namun kembali melemah di kuartal III.
Penurunan ini bukan sekadar statistik. FDI adalah salah satu sumber pembiayaan jangka panjang paling stabil bagi Indonesia. Di sisi ini, laba jangka pendek tidak menjadi prioritas; yang menjadi fokus adalah pembangunan pabrik, perluasan kapasitas, dan penciptaan lapangan kerja.
Dengan kata lain, ketika arus FDI melemah, risiko bagi pertumbuhan berkelanjutan meningkat.
Ketidakpastian global, suku bunga tinggi di negara maju, hingga kehati-hatian investor terhadap transisi pemerintahan disebut menjadi kombinasi faktor yang menahan arus modal masuk.
Mengapa FDI Penting dan Tidak Bisa Digantikan?
Investasi portofolio sering kali datang dalam jumlah besar, tetapi juga cepat keluar. Ini dikenal sebagai hot money—modal jangka pendek yang sangat sensitif terhadap sentimen pasar.
Sebaliknya, investasi langsung mendorong aktivitas produksi, menumbuhkan sektor riil, dan membuka lapangan kerja. Jika tren penurunannya berlanjut, maka efeknya dapat mulai terasa, baik dari sisi kesempatan kerja maupun stabilitas ekonomi.
Di dalam catatan analis, penguatan surplus transaksi berjalan memang memberikan bantalan terhadap volatilitas global. Namun, tanpa dukungan investasi langsung, ketahanan eksternal dalam jangka panjang bisa melemah.
Menimbang Masa Depan: Apa yang Perlu Diwaspadai?
Dengan surplus transaksi berjalan yang kembali muncul, Indonesia mendapatkan momentum positif pada stabilitas eksternal. Ini menjadi modal penting dalam menghadapi dinamika global yang masih penuh ketidakpastian.
Namun, tren turunnya investasi langsung harus dicermati lebih dalam oleh pemerintah baru. Penguatan regulasi, stabilitas politik, serta konsistensi kebijakan menjadi kunci agar arus modal jangka panjang kembali pulih.
Beberapa pengamat menilai, pemerintah perlu meningkatkan kualitas insentif investasi, mempercepat reformasi struktural, dan memperkuat iklim usaha. Jika tidak, surplus transaksi berjalan mungkin hanya menjadi “momen manis” yang cepat hilang, bukan pijakan kokoh bagi perekonomian jangka panjang.
Sebagai catatan tambahan, analisis global dari International Monetary Fund (IMF) menyebut bahwa negara berkembang yang mampu mempertahankan keseimbangan transaksi berjalan lebih stabil selama periode tekanan keuangan. Sementara itu, neraca transaksi berjalan yang sehat sering kali menjadi salah satu indikator kunci ketahanan ekonomi.
Untuk memperkaya konteks ilmiah, NASA dalam publikasi ekonominya menyebut bahwa stabilitas global—termasuk perdagangan komoditas—kian dipengaruhi ketidakpastian iklim. Meski tidak spesifik membahas Indonesia, agensi itu menegaskan bahwa volatilitas cuaca ekstrem dapat memengaruhi rantai pasok dan output komoditas. Pernyataan ini sejalan dengan peringatan BMKG mengenai risiko anomali cuaca pada 2025 yang dapat mengganggu produksi sektor pertanian dan energi.
“Ketidakpastian iklim ekstrem berpotensi memengaruhi pasokan komoditas dunia,” tulis NASA dalam kajian tahunannya.
Pernyataan tersebut menempatkan tantangan baru di balik perbaikan transaksi berjalan, sekaligus menjadi anchor alfamabet yang menunjukkan hubungan antara ekonomi dan dinamika global—A hingga Z saling terkait sebagai satu ekosistem.
Penutup Neraca Transaksi Berjalan
Surplus transaksi berjalan yang kembali muncul setelah 10 kuartal memberikan kabar baik bagi perekonomian Indonesia. Namun, turunnya investasi langsung menghadirkan tantangan yang tidak boleh diabaikan.
Di era pemerintahan baru, kerja besar masih menanti. Stabilitas makro harus dijaga, kepercayaan investor dipulihkan, dan reformasi struktural diperkuat. Jika keseimbangan ini terwujud, Indonesia dapat mengubah momen surplus ini menjadi fondasi pertumbuhan yang lebih kokoh—bukan sekadar jeda singkat sebelum tantangan baru datang mengetuk.
