Leverkusen Kocar-Kacir di Bawah Ten Hag: Kekalahan Menyakitkan dari Tim Junior Flamengo

Leverkusen

Leverkusen – Langit Rio de Janeiro sore itu seolah sedang menggambarkan suasana hati para pendukung Bayer Leverkusen—redup, penuh awan kecewa, dan jauh dari gemerlap antusiasme yang biasanya menyelimuti laga sepak bola. Dalam laga uji coba yang seharusnya menjadi langkah awal optimistis di era baru Erik ten Hag, kenyataan justru menampar keras. Leverkusen yang seharusnya tampil sebagai tim unggulan, justru dipermalukan habis-habisan oleh tim U-20 Flamengo, dengan skor mencolok 1-5. Ya, Anda tidak salah baca—tim muda Flamengo, bukan tim seniornya.

Awal Mimpi Buruk dari Brasil

Di tengah latihan pramusim yang biasanya dijadikan ajang pemanasan, Leverkusen justru seolah-olah dilempar langsung ke medan perang tanpa persiapan. Ten Hag, yang baru saja mengambil tongkat estafet dari Xabi Alonso, harus menyaksikan anak asuhnya kebobolan empat gol di babak pertama. Para pemain tampak bingung, kehilangan arah, dan terpukul oleh kecepatan serta determinasi lawan yang jauh lebih muda.

“Secara hasil memang buruk, sangat buruk, tapi ini bukan tentang skor. Yang saya tekankan adalah proses dan kesiapan tim. Pramusim adalah tempat untuk belajar, bukan mencetak kemenangan instan,” ujar Ten Hag mencoba menenangkan badai yang sudah terlanjur menyerang.

Namun kata-kata itu tidak mampu menyembunyikan kenyataan pahit di lapangan.

Bukan Sekadar Kekalahan, Ini Alarm Keras

Yang membuat hasil ini terasa lebih memalukan adalah komposisi lawan: Flamengo U-20, tim junior yang bahkan belum merasakan kerasnya level profesional di Eropa. Tapi mereka bermain seperti pasukan berpengalaman, penuh percaya diri, dan nyaris tanpa celah. Leverkusen justru terlihat seperti kumpulan pemain dadakan, yang belum pernah latihan bersama.

Dalam laga tersebut, Leverkusen memulai dengan formasi yang memadukan enam pemain utama dengan lima pemain muda dari tim U-19. Eksperimen Ten Hag ini, meski bisa dimaklumi dari sudut pandang rotasi dan pengujian, ternyata menjadi bumerang yang menyakitkan.

Dan ketika Arthur—pemain asal Brasil yang seharusnya bisa tampil lebih percaya diri di tanah kelahirannya—malah mencetak gol bunuh diri yang memperparah skor jadi 0-2, semua terasa seperti drama satire sepak bola.

Sekitar seribu penonton hadir di laga ini. Di antaranya ada nama-nama besar seperti Zé Elias, Henrique, Paulo Sérgio, dan Renato Augusto yang pernah menjadi bagian dari sejarah Leverkusen. Mungkin mereka juga mengerutkan dahi melihat betapa tidak siapnya klub Jerman itu di laga perdana pramusim ini.

Flamengo Junior, Tapi Bukan Lawan Main-Main

Tim muda Flamengo bukan lawan sembarangan. Mereka adalah juara U-20 Amerika Selatan—gelar yang mencerminkan kualitas, kedalaman teknik, dan kesiapan fisik luar biasa. Kecepatan mereka adalah senjata mematikan, dan itu terlihat jelas dalam setiap tusukan ke lini belakang Leverkusen yang sering tertinggal satu langkah, atau bahkan dua.

Lorran membuka gol cepat di menit ke-2, disusul oleh gol bunuh diri Arthur pada menit ke-10. Matheus Goncalves menambah luka dengan gol di menit ke-40. Dan sebelum peluit babak pertama dibunyikan, Pedro Leao menghentak lagi dengan gol keempat di masa injury time. Skor 0-4 saat turun minum adalah bencana mutlak.

Dan ketika Gusttavo mencetak gol kelima di menit ke-49, mimpi buruk itu seolah belum selesai. Leverkusen tampak seperti kehilangan napas, kehilangan ide, dan lebih seperti pelengkap dalam pertandingan itu.

Harapan di Tengah Puing Kekalahan

Namun, cerita ini tidak sepenuhnya gelap. Ada cahaya kecil yang mulai muncul di 30 menit terakhir pertandingan. Ten Hag mulai menurunkan skuad yang lebih mapan: kiper utama Hradecky, bek Tapsoba, gelandang andal Xhaka dan Andrich, juga Grimaldo dan Palacios. Nama-nama besar itu mulai mengendalikan tempo, menguasai bola, dan menciptakan peluang.

Dan akhirnya, Cullbreath—pemain muda dari akademi U-19—menyumbang satu-satunya gol untuk Leverkusen di menit ke-71. Meski tak mampu membalikkan keadaan, gol itu menjadi semacam simbol perlawanan kecil di tengah kekacauan.

Ten Hag mengakui bahwa timnya menunjukkan “tanda-tanda perkembangan” di setengah jam terakhir. Tapi dalam dunia sepak bola, 30 menit bagus tidak cukup untuk menutupi 60 menit buruk yang sudah terlanjur memalukan.

Persiapan Leverkusen Masih Panjang

Ujian ini adalah pengingat keras bagi Ten Hag bahwa tugasnya bersama Leverkusen bukan pekerjaan ringan. Ia mewarisi skuad yang secara teknis sudah kuat, tetapi tetap membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan filosofi barunya. Ia tidak menurunkan pemain baru seperti Quansah dan Kofane, yang baru tiba dan bergabung dalam latihan sehari sebelum pertandingan. Eksperimen masih berlangsung, dan rotasi pemain masih dicoba. Tapi hasil ini akan tetap menjadi noda di buku catatan pramusim.

Kekalahan memang biasa terjadi dalam persiapan. Namun kekalahan dengan skor telak dari tim muda seperti Flamengo U-20 menjadi pertanyaan besar. Bagaimana bisa tim sekelas Leverkusen, yang musim lalu bersaing di papan atas Bundesliga, takluk dengan cara yang begitu mencolok?

Mungkin jawabannya ada pada kebugaran. Atau mungkin pada kurangnya konsentrasi. Tapi satu hal pasti—Ten Hag punya banyak PR untuk diselesaikan.

Apa Selanjutnya untuk Leverkusen?

Musim kompetisi resmi belum dimulai, dan Leverkusen masih punya waktu untuk berbenah. Kekalahan ini, meskipun memalukan, bisa menjadi titik balik jika dikelola dengan baik. Banyak tim besar yang jatuh saat uji coba namun bangkit saat liga dimulai. Yang diperlukan hanyalah ketenangan dan respons yang tepat.

Ten Hag dikenal sebagai pelatih yang teliti, perfeksionis, dan punya visi panjang. Namun ia juga harus mampu membangkitkan mental para pemainnya yang mungkin masih terguncang oleh hasil ini. Leverkusen bukan tim medioker. Mereka punya sejarah, punya fans loyal, dan kini punya pelatih dengan reputasi Eropa. Waktunya membuktikan bahwa hasil buruk di Brasil hanyalah kelalaian sementara, bukan pertanda kehancuran.

Sementara itu, Flamengo U-20 bisa berbangga hati. Mereka telah menunjukkan bahwa usia bukanlah batas untuk mencetak prestasi, bahkan ketika lawan berasal dari salah satu klub terkuat Jerman.

Leverkusen akan kembali ke Jerman dengan kepala sedikit tertunduk, tapi semoga dengan hati yang lebih tangguh.

Karena dalam sepak bola, kadang kita memang harus jatuh dulu untuk belajar cara bangkit.

Exit mobile version