Topan Landa Taiwan (Taipei) – Bencana besar kembali melanda Taiwan. Hujan ekstrem yang dipicu Topan Ragasa pada Rabu, 24 September, menyebabkan jebolnya sebuah danau penahan di kawasan timur. Gelombang air yang dilepaskan danau tersebut menghantam kota Guangfu di Kabupaten Hualien. Hingga kini, pemerintah mencatat sedikitnya 14 orang tewas dan 124 lainnya masih hilang.
Danau Penahan Tak Tahan Tekanan
Danau penahan itu terbentuk akibat longsoran tanah setelah curah hujan terus-menerus mengguyur wilayah timur Taiwan. Menurut data pemerintah, danau ini menyimpan sekitar 91 juta ton air, setara dengan lebih dari 36.000 kolam renang berstandar Olimpiade.
Namun, daya tampungnya tidak sanggup menahan tekanan air hujan. Sekitar 60 juta ton air tumpah sekaligus, menciptakan gelombang besar yang menyapu rumah, jalan, dan lahan pertanian di Guangfu.
“Semua korban tewas dan hilang berasal dari kota Guangfu,” kata seorang petugas pemadam kebakaran dalam keterangan resmi.
Desa Tenggelam, Warga Terjebak
Dampak terparah dirasakan warga Desa Dama, salah satu kawasan padat penduduk di Guangfu. Kepala desa, Wang Tse-an, menyebut seluruh pemukiman yang dihuni sekitar 1.000 orang kini terendam banjir. Banyak warga masih terjebak di dalam rumah mereka.
“Sekarang benar-benar kacau,” ujarnya, dikutip dari Channel News Asia. “Prioritas utama adalah mengevakuasi warga ke tempat penampungan. Namun, akses logistik belum bisa masuk. Lumpur dan bebatuan berserakan di mana-mana.”
Pemerintah melaporkan bahwa sekitar 5.200 orang—sekitar 60 persen dari populasi Guangfu—memilih bertahan di lantai atas rumah masing-masing. Sebagian besar sisanya mengungsi ke kediaman keluarga atau tempat penampungan darurat.
Topan Ragasa dan Hujan Ekstrem
Menurut Badan Meteorologi Taiwan, Topan Ragasa membawa curah hujan hingga 70 sentimeter hanya dalam beberapa hari. Angka ini termasuk kategori ekstrem. Sebagai perbandingan, hujan tahunan di beberapa kota besar di Asia Tenggara bahkan tidak mencapai jumlah tersebut.
BMKG Indonesia dalam keterangannya mengingatkan bahwa fenomena serupa bisa terjadi di wilayah lain di Asia Pasifik, terutama ketika topan membawa uap air dalam jumlah besar dari Samudra Pasifik Barat.
“Ketika badai tropis atau topan melintas, potensi banjir bandang meningkat signifikan, khususnya di daerah dengan kondisi geologi rawan longsor,” tulis BMKG.
Mengingat Morakot 2009
Bencana ini mengingatkan publik Taiwan pada tragedi Topan Morakot tahun 2009. Saat itu, curah hujan luar biasa menimbulkan banjir dan longsor besar di Taiwan selatan. Akibatnya, sekitar 700 orang meninggal dunia, dan kerugian ekonomi ditaksir mencapai USD 3 miliar.
Meski skala bencana kali ini belum sebesar Morakot, para ahli memperingatkan bahwa intensitas topan di kawasan Asia Timur terus meningkat akibat perubahan iklim. Pemanasan suhu laut memberi energi lebih besar pada badai tropis sehingga dampaknya kian sulit diprediksi.
BACA JUGA: Pergerakan Topan Ragasa Hong Kong Siagakan T10 Apa yang Terjadi?
Evakuasi Masih Berlangsung
Tim penyelamat gabungan dari militer, polisi, dan relawan kini fokus mencari korban hilang. Akses menuju Guangfu sempat terputus karena jalan utama tertutup lumpur dan reruntuhan. Helikopter dikerahkan untuk menjatuhkan bantuan makanan dan obat-obatan ke lokasi-lokasi yang terisolasi.
“Evakuasi menjadi tantangan besar karena kondisi tanah masih labil,” ujar juru bicara Badan Penanggulangan Bencana Taiwan. “Kami khawatir ada longsor susulan jika hujan turun lagi.”
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain korban jiwa, kerugian material juga diperkirakan sangat besar. Ribuan rumah rusak, lahan pertanian hancur, dan infrastruktur publik lumpuh. Banyak warga kehilangan mata pencaharian dalam sekejap.
Ekonom lokal memperkirakan kerugian bisa mencapai ratusan juta dolar AS. Industri pariwisata di Hualien, yang dikenal dengan Taman Nasional Taroko, juga terpukul karena akses transportasi terganggu.
Ancaman Topan di Masa Depan
NASA dalam laporan iklimnya menyebut bahwa wilayah barat Pasifik adalah “jalur sibuk” bagi badai tropis. Setiap tahun, sekitar 25–30 topan terbentuk di kawasan ini, dan beberapa di antaranya menghantam Taiwan.
“Pemanasan global menyebabkan topan membawa lebih banyak uap air, yang berpotensi menimbulkan curah hujan lebih ekstrem,” tulis NASA dalam laporan Climate Change and Tropical Cyclones.
Pemerintah Taiwan kini tengah meninjau ulang sistem peringatan dini dan kapasitas bendungan. Peristiwa jebolnya danau penahan di Guangfu disebut sebagai peringatan serius akan pentingnya mitigasi jangka panjang.
Solidaritas dan Harapan
Di tengah kesulitan, solidaritas masyarakat Taiwan kembali terlihat. Donasi dari warga, perusahaan, hingga diaspora Taiwan di luar negeri mulai mengalir untuk membantu korban.
“Saat bencana seperti ini, yang paling dibutuhkan adalah kecepatan dalam penyelamatan dan kepedulian bersama,” kata seorang relawan di Hualien.
Meski jalan menuju pemulihan masih panjang, pemerintah menegaskan komitmennya untuk membangun kembali Guangfu. Presiden Taiwan juga telah mengunjungi lokasi terdampak dan menjanjikan bantuan penuh bagi korban.
Penutup Topan Landa Taiwan
Peristiwa Topan Landa Taiwan kali ini menjadi pengingat betapa rentannya masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim dan badai tropis. Dari Morakot hingga Ragasa, catatan sejarah menunjukkan bahwa persiapan dan mitigasi bencana harus selalu menjadi prioritas.
Dengan 14 korban jiwa, 124 orang masih hilang, dan ribuan lainnya terdampak, tragedi di Guangfu akan tercatat sebagai salah satu bencana besar Taiwan dalam dekade ini.