Krisis Politik Nepal Memuncak: Militer Ambil Alih, Rakyat Desak Reformasi

Menteri Keuangan Nepal

Kathmandu—Krisis politik yang mengguncang Nepal dalam beberapa hari terakhir menandai salah satu momen paling kelam sejak negara Himalaya itu beralih ke sistem republik pada 2008. Gelombang protes yang dipicu kemarahan generasi muda atas larangan media sosial dan dugaan korupsi, kini berubah menjadi kekacauan nasional yang membuat pemerintahan sipil tumbang.

Tentara Nepal dikerahkan ke jalan-jalan ibu kota, Kathmandu, pada Rabu (10/9/2025). Kendaraan lapis baja melintas di antara bangkai mobil terbakar, sementara pengeras suara tentara menyerukan jam malam demi mencegah kerusuhan meluas.

Kepala Staf Angkatan Darat Nepal, Jenderal Ashok Raj Sigdel, meminta warga menghentikan aksi protes. “Kami memahami kekecewaan rakyat, tetapi vandalisme dan pembakaran bukan jalan keluar,” ujarnya.

Parlemen Terbakar, Pemerintah Runtuh

Kemarahan massa pecah sejak Senin lalu, ketika pemerintah mengumumkan larangan penggunaan platform media sosial. Langkah itu dianggap membungkam kebebasan berekspresi, terutama di kalangan muda yang menggantungkan hidup pada dunia digital.

Kerusuhan yang dipimpin kelompok menamakan diri Gen Z ini dengan cepat meluas. Gedung parlemen terbakar, kantor pemerintahan diserang, bahkan rumah mantan Perdana Menteri KP Sharma Oli (73) dibakar massa. Oli kemudian mundur dari jabatannya, meski keberadaannya hingga kini masih misterius.

“Ini akibat dari perbuatan buruk para pemimpin kita,” kata Dev Kumar Khatiwada (60), seorang pensiunan polisi, kepada AFP. Namun ia juga menekankan, tindakan vandalisme tidak bisa dibenarkan.

Menteri Keuangan Nepal Jadi Sorotan

Di tengah kekacauan ini, publik menyoroti peran menteri keuangan Nepal yang dianggap gagal menjawab frustrasi generasi muda.

Nepal selama ini menghadapi kesenjangan ekonomi tajam. Menurut data Bank Dunia, lebih dari 20% warga berusia 15–24 tahun menganggur. Produk domestik bruto (PDB) per kapita hanya sekitar US$1.447, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti India dan Tiongkok.

Kebijakan fiskal yang dinilai lemah memperparah kondisi. Subsidi bahan bakar dipotong, sementara utang luar negeri meningkat. Generasi muda merasa semakin terpinggirkan, terlebih ketika video viral di TikTok memperlihatkan gaya hidup mewah anak-anak pejabat.

Seorang demonstran bernama Laxmi Shrestha (22) menuturkan kepada Reuters, “Kami melihat menteri keuangan bicara soal pertumbuhan, tapi kenyataannya kami tidak punya pekerjaan. Bagaimana masa depan bisa terjamin?”

Bandara Lumpuh, Ekonomi Terhenti

Dampak kerusuhan langsung terasa pada ekonomi. Bandara internasional Kathmandu sempat lumpuh akibat serangan massa, membuat ratusan penerbangan internasional tertunda. Hotel dan pusat perbelanjaan juga menjadi sasaran amuk warga.

Asap tebal masih mengepul dari gedung-gedung pemerintah pada Rabu malam. Dinding parlemen yang menghitam dihiasi coretan pesan perlawanan bertuliskan: “Kami memilih lawan yang salah — Gen Z.”

Situasi ini memperburuk krisis fiskal yang sebelumnya sudah menggerus cadangan devisa Nepal. Para analis khawatir bila ketidakpastian politik berlanjut, Nepal bisa menghadapi resesi berkepanjangan.

Reaksi Dunia Internasional

Masyarakat global menyoroti perkembangan di Nepal dengan penuh kekhawatiran. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyerukan agar semua pihak menahan diri. “Perlu ada pengendalian diri untuk menghindari peningkatan kekerasan,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.

Kelompok think tank International Crisis Group menyebut krisis ini sebagai “titik balik besar dalam demokrasi Nepal yang rapuh.” Menurut analis Ashish Pradhan, diperlukan pengaturan transisi yang melibatkan tokoh-tokoh yang masih dipercaya masyarakat, terutama kaum muda.

Sementara itu, India dan Tiongkok—dua negara tetangga yang memiliki kepentingan strategis di Nepal—mengeluarkan peringatan perjalanan bagi warganya dan menyatakan siap membantu stabilisasi bila diminta.

Krisis Generasi Muda

Sumber utama gejolak ini adalah kekecewaan generasi muda. Dengan lapangan kerja yang terbatas, biaya hidup yang meningkat, dan akses digital yang dibatasi, banyak anak muda merasa masa depan mereka tertutup.

Larangan terhadap 26 platform media sosial, termasuk Facebook, YouTube, dan X, justru memperburuk keadaan. Alih-alih meredam, kebijakan itu mendorong perlawanan. TikTok, yang sempat lolos dari blokir, menjadi saluran utama penyebaran pesan perlawanan.

Banyak unggahan viral memperlihatkan perbandingan mencolok antara kehidupan rakyat biasa yang serba kekurangan dengan anak pejabat yang pamer barang mewah.

“Ini bukan sekadar soal politik. Ini soal masa depan,” ujar Bishal, mahasiswa berusia 21 tahun, kepada media lokal The Kathmandu Post.

Jalan Politik yang Samar

Meski militer kini memegang kendali, jalan keluar politik masih belum jelas. Para pakar menilai, pemerintahan transisi harus segera dibentuk untuk mengisi kekosongan.

Pengacara konstitusi Dipendra Jha menyebut, “Para demonstran, pemimpin yang mereka percayai, dan militer harus duduk bersama untuk membuka jalan menuju pemerintahan sementara.”

Namun, muncul pertanyaan besar: siapa tokoh yang bisa menyatukan rakyat? Dengan runtuhnya pemerintahan dan mundurnya elit lama, rakyat menuntut wajah baru yang bersih dari korupsi.

Dampak Jangka Panjang

Krisis ini bukan sekadar pergolakan politik sesaat. Bila tidak segera ditangani, dampaknya bisa merembet ke stabilitas regional Himalaya.

Laporan Bank Dunia menyebut, Nepal bergantung pada remitansi tenaga kerja migran yang menyumbang hampir 24% dari PDB. Jika instabilitas membuat migrasi tenaga kerja terhambat, perekonomian domestik akan semakin terpukul.

Selain itu, sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung negara juga terhenti. Jalur trekking ke Everest Base Camp, yang biasanya ramai turis internasional, kini ditutup karena alasan keamanan.

Seruan Dialog Nasional

Banyak pihak menekankan perlunya dialog inklusif. Militer, elit politik, dan kaum muda harus mencari titik temu.

BMKG Nepal (Department of Hydrology and Meteorology) yang biasanya jarang terlibat politik, ikut memberi peringatan soal risiko bencana sosial bila instabilitas terus berlanjut. “Nepal sedang menghadapi bukan hanya guncangan politik, tetapi juga ancaman sosial-ekonomi yang bisa memicu migrasi massal,” tulis lembaga itu dalam buletin mingguannya.

Krisis Nepal menjadi pengingat bahwa demokrasi tanpa fondasi ekonomi yang kuat akan rentan goyah. Peran menteri keuangan Nepal dalam merancang kebijakan fiskal yang berpihak pada rakyat akan menjadi penentu apakah negeri ini bisa bangkit kembali.

Penutup

Nepal kini berdiri di persimpangan jalan. Antara militer yang menguasai situasi, generasi muda yang menuntut perubahan, dan elit lama yang terjebak dalam bayang-bayang korupsi.

Apakah Nepal akan menemukan pemimpin baru yang mampu menjawab harapan rakyat? Ataukah krisis ini justru menyeret negara Himalaya itu ke jurang ketidakpastian lebih dalam?

Satu hal pasti: dunia sedang menatap Nepal, menunggu apakah negeri di atap dunia itu mampu bangkit dari abu kekacauan.

Exit mobile version