Bisnis  

Rupiah Tertekan ke Rp16.585 per Dolar, Analis Ungkap Penyebab Utama

Dolar Hari Ini

Dolar Hari Ini – Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam dua hari terakhir. Sentimen global dan faktor domestik membuat kurs rupiah merosot ke posisi terlemah dalam empat bulan terakhir.

Pada perdagangan Jumat (19/9/2025) pukul 14.10 WIB, rupiah diperdagangkan di level Rp16.585 per dolar AS. Sehari sebelumnya, Kamis (18/9/2025), rupiah juga ditutup melemah 0,46% ke Rp16.500 per dolar. Itu adalah posisi terendah sejak pertengahan Mei 2025.

Bagi sebagian masyarakat, angka ini menjadi tolok ukur utama. Wajar saja jika banyak yang menanyakan bagaimana posisi dolar hari ini dan apa penyebab rupiah tak kunjung pulih.

Efek Keputusan The Fed

Salah satu pemicu utama pelemahan rupiah adalah keputusan Federal Reserve (The Fed). Bank sentral AS memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,00%–4,25%.

Sekilas, pemangkasan seharusnya memberi tekanan pada dolar AS. Namun kenyataannya berbeda. Pasar lebih fokus pada pesan hati-hati yang disampaikan Ketua The Fed, Jerome Powell.

“Pemangkasan ini lebih dilihat sebagai pengelolaan risiko, bukan awal siklus pelonggaran besar-besaran,” ujar Powell dalam konferensi persnya.

Pernyataan tersebut membuat indeks dolar (DXY) justru menguat, karena investor menilai langkah The Fed tidak seagresif ekspektasi pasar. Imbasnya, rupiah pun ikut tertekan.

Kebijakan BI yang Mempersempit Selisih

Bank Indonesia (BI) pada hari yang sama juga menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 bps ke 4,75%. Sementara itu, suku bunga Deposit Facility diturunkan lebih dalam, 50 bps ke 3,75%.

Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menilai langkah BI ikut mempersempit selisih imbal hasil rupiah terhadap dolar.

“Pemangkasan BI Rate mengurangi daya tarik jangka pendek rupiah, terutama saat dolar sedang menguat pasca rapat The Fed,” kata Josua.

Menurutnya, pelemahan rupiah kali ini lebih banyak dipengaruhi oleh interpretasi pasar terhadap sikap The Fed ketimbang besaran pemangkasan suku bunga itu sendiri.

Dampak Regional Asia

Pelemahan rupiah juga tak lepas dari tren regional. Beberapa mata uang Asia, seperti won Korea dan ringgit Malaysia, ikut tertekan setelah bank sentral Korea memberi sinyal pelonggaran.

Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung melakukan lindung nilai dengan menumpuk dolar pada malam hari, ketika likuiditas rupiah cenderung lebih tipis. Situasi tersebut memperburuk tekanan rupiah di sesi perdagangan berikutnya.

Faktor Politik dan Persepsi Pasar

Dari dalam negeri, faktor politik turut berperan. Senior Ekonom Mirae Asset Sekuritas, Rully Wisnubroto, menilai arus modal asing keluar masih berlanjut sejak adanya reshuffle kabinet, terutama pergantian Menteri Keuangan.

“Investor khawatir terhadap arah kebijakan ekonomi dan independensi BI setelah pelonggaran moneter yang cukup agresif,” ungkap Rully.

Kondisi politik yang belum sepenuhnya stabil menambah beban rupiah, karena pasar melihat ada risiko tambahan pada aset berdenominasi rupiah.

Outflow Obligasi dan Pembayaran Utang

Selain faktor sentimen, tekanan juga datang dari pasar keuangan. Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menyebut arus keluar dana asing dari pasar obligasi cukup besar.

“Ada tekanan outflow obligasi dan kebutuhan pembayaran utang dalam valuta asing. Itu menambah tekanan terhadap rupiah di tengah dolar AS yang sedang menguat,” jelasnya.

Data Bank Indonesia menunjukkan, pada periode 8–11 September 2025, semua instrumen keuangan mencatat net outflow hingga Rp14,24 triliun. Arus keluar ini lebih rendah dari pekan sebelumnya, tapi tetap menunjukkan tren pelemahan.

Secara keseluruhan, sepanjang 2025, asing mencatat net outflow Rp54,33 triliun di pasar saham dan Rp117,72 triliun di SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia).

Apa Artinya untuk Masyarakat?

Pelemahan rupiah ke level Rp16.585 per dolar tentu menimbulkan efek berlapis. Barang impor akan lebih mahal, biaya produksi naik, dan harga bahan bakar berpotensi terdongkrak jika pelemahan berlanjut.

Namun, di sisi lain, pelaku ekspor mendapat sedikit keuntungan karena produk mereka lebih kompetitif di pasar global.

BMKG dalam laporan terpisah mengenai faktor iklim ekonomi menegaskan, gejolak eksternal sering kali datang bersamaan dengan isu non-ekonomi, termasuk perubahan iklim global yang memengaruhi rantai pasok. Meski bukan faktor langsung, volatilitas rupiah dan harga komoditas kadang berjalan beriringan dengan dinamika cuaca ekstrem.

Jalan ke Depan

Ke depan, para analis menilai rupiah masih akan rentan terhadap pergerakan dolar AS. Selama The Fed mempertahankan sikap hati-hati, greenback tetap menjadi aset aman bagi investor global.

Bagi Bank Indonesia, tantangan terletak pada menjaga stabilitas rupiah tanpa harus terlalu agresif menguras cadangan devisa.

Pasar domestik juga akan terus mengawasi perkembangan politik dalam negeri. Investor berharap kebijakan fiskal dan moneter berjalan seirama untuk memperkuat kepercayaan pada rupiah.

Kesimpulan

Pelemahan rupiah ke Rp16.585 per dolar hari ini tidak hanya soal selisih suku bunga, tapi juga soal persepsi pasar terhadap arah kebijakan global dan domestik.

Dengan kombinasi tekanan eksternal, faktor politik, hingga kebutuhan teknis pembayaran utang, rupiah masih harus bekerja keras untuk kembali stabil.

Dalam jangka pendek, publik perlu waspada terhadap dampaknya ke harga kebutuhan sehari-hari, sementara pemerintah dan BI dituntut menjaga keseimbangan agar gejolak ini tidak berlarut.

Exit mobile version