Purbaya Soroti Cukai Rokok: Tinggi Banget, tapi Apa Dampaknya?

Cukai Rokok

Cukai Rokok — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dibuat kaget ketika mendengar angka rata-rata tarif cukai rokok yang berlaku saat ini. Dalam sebuah diskusi internal, ia mengaku tak menyangka beban cukai sudah sedemikian tinggi.

“Saya tanya, cukai rokok sekarang berapa rata-rata? 57%. Wah, tinggi amat,” ujar Purbaya di Jakarta, Jumat (19/9/2025).

Pernyataan ini sontak menjadi sorotan, karena menyentuh isu sensitif yang melibatkan penerimaan negara, industri rokok, hingga kesehatan masyarakat.

Kenaikan Cukai Rokok dari Tahun ke Tahun

Cukai hasil tembakau (CHT) memang konsisten naik dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan ini ditujukan untuk dua hal: meningkatkan penerimaan negara sekaligus menekan konsumsi rokok yang dianggap berdampak buruk pada kesehatan.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:

  • Tahun 2022, tarif cukai naik 12%. Produksi mencapai 323,9 miliar batang dengan penerimaan Rp218,3 triliun.
  • Tahun 2023, tarif kembali naik 10%, tapi produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang. Penerimaan ikut turun ke Rp213,5 triliun.
  • Tahun 2024, tarif tetap naik 10%. Produksi sedikit menurun ke 317,4 miliar batang, sementara penerimaan naik tipis ke Rp216,9 triliun.

Pada 2025, pemerintah memutuskan tidak menaikkan tarif, sebagai bagian dari kebijakan multi-tahun yang sudah disepakati sebelumnya.

Dilema Antara Pendapatan dan Konsumsi

Purbaya menilai, kenaikan tarif yang terlalu tinggi justru bisa menekan penerimaan negara. Ia membandingkan, ketika tarif lebih rendah, penerimaan justru cenderung lebih besar.

“Kalau turun gimana? Bukan berarti saya mau turunin, ya, cuma diskusi. Kalau turun makin banyak income-nya. Kenapa dinaikin kalau gitu?” ucapnya.

Namun ia juga mengakui, kebijakan cukai tidak hanya soal uang. Ada tujuan kesehatan yang lebih besar.

“Rupanya, kebijakan itu bukan hanya income saja. Ada policy untuk mengecilkan konsumsi rokok. Jadi otomatis industrinya kecil, tenaga kerja di sana juga kecil. Oke, bagus. Ada WHO di belakangnya,” jelasnya.

Dampak ke Industri dan Pekerja Akibat Cukai Rokok

Meski memahami alasan kesehatan, Purbaya menilai ada sisi lain yang kerap terabaikan: nasib para pekerja di industri rokok. Ia menyebut, kebijakan cukai yang menekan konsumsi perlu dibarengi program mitigasi bagi tenaga kerja yang terdampak.

“Apakah kita sudah buat program untuk memitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? Enggak ada. Loh kok enak? Kalau enggak ada, ya jangan sampai industri itu dibunuh,” katanya.

Menurutnya, pemerintah harus menyeimbangkan antara tujuan kesehatan, penerimaan negara, dan keberlangsungan lapangan kerja.

Perspektif Kesehatan Publik

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak lama menekankan pentingnya pengendalian konsumsi rokok melalui instrumen fiskal seperti cukai. WHO menyebut, cukai tinggi adalah salah satu cara paling efektif untuk menurunkan angka perokok.

Hal serupa ditegaskan oleh Kementerian Kesehatan. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi perokok remaja di Indonesia masih tinggi, yakni 9,1% pada 2018 dan berpotensi meningkat jika tidak dikendalikan.

BMKG juga pernah mengingatkan, polusi udara di kota besar makin parah, dan asap rokok turut menjadi salah satu kontributor dalam ruang tertutup.

Antara Regulasi dan Realita

Kebijakan cukai rokok di Indonesia kerap berada di persimpangan: antara kebutuhan fiskal negara, perlindungan kesehatan masyarakat, dan keberlangsungan industri yang menyerap jutaan pekerja.

Purbaya menegaskan, diskusi soal tarif cukai rokok bukan sekadar soal angka, tapi juga keberanian merancang kebijakan yang adil bagi semua pihak.

“Selama kita enggak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang nganggur, industri itu enggak boleh dibunuh. Itu hanya menimbulkan orang susah aja. Tapi memang harus dibatasi jumlah perokoknya,” tegasnya.

Tantangan Kebijakan Cukai di Masa Depan

Ke depan, pemerintah dihadapkan pada tantangan merancang kebijakan cukai rokok yang lebih adaptif. Tidak hanya soal angka kenaikan tarif, tapi juga efektivitas pengawasan distribusi, pemberantasan rokok ilegal, hingga edukasi publik mengenai bahaya merokok.

Pakar ekonomi menilai, tanpa pengawasan yang ketat, kenaikan tarif justru bisa mendorong maraknya perdagangan rokok ilegal yang merugikan negara. Sementara itu, edukasi kesehatan harus berjalan beriringan agar masyarakat memahami tujuan sebenarnya dari kebijakan cukai, bukan sekadar melihatnya sebagai beban tambahan.

Penutup

Cukai rokok akan terus menjadi isu hangat. Pemerintah harus menyeimbangkan kebijakan antara kepentingan kesehatan publik, penerimaan negara, dan masa depan pekerja industri.

Dengan beban cukai yang sudah mendekati 57%, pertanyaannya kini bukan sekadar “berapa besar tarifnya,” melainkan “apakah kebijakan itu benar-benar bijak dan berpihak pada masyarakat luas?”

Exit mobile version