Rupiah ke Dollar – Nilai tukar rupiah ke dollar kembali menjadi sorotan setelah bergerak melemah hingga menyentuh level Rp 16.400. Fluktuasi ini tidak berdiri sendiri, melainkan lahir dari pertemuan banyak faktor: kebijakan moneter, kebutuhan musiman, hingga tensi sosial-politik yang meningkat belakangan ini.
Rupiah Tertekan di Akhir Bulan
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Jumat (29/8/2025), rupiah ditutup di level Rp 16.461 per dollar AS. Angka itu mencerminkan pelemahan 0,64 persen dibandingkan dengan hari sebelumnya.
Ekonom Global Markets Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai pelemahan ini merupakan cerminan dari kebutuhan dolar yang naik di penghujung bulan. Permintaan valas meningkat seiring pembayaran utang luar negeri, impor, hingga kebutuhan rutin perusahaan.
Selain itu, aksi ambil untung investor setelah periode penguatan pasar domestik pada Juli turut menambah tekanan. “Tensi sosial-politik dalam negeri juga membuat investor memilih menunggu situasi lebih kondusif,” ujar Myrdal.
Potensi Penguatan di Bulan Berikutnya
Meski saat ini rupiah tertekan, prospek jangka pendek tidak sepenuhnya suram. Myrdal memperkirakan tren penguatan bisa kembali terlihat pada September 2025.
Ada dua alasan utama: pertama, neraca perdagangan Indonesia yang masih konsisten mencatatkan surplus. Kedua, ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada pertemuan September.
“Kalau The Fed benar menurunkan suku bunga, investor global cenderung mencari aset dengan imbal hasil lebih menarik. Rupiah punya peluang untuk menguat ke bawah Rp 16.400, bahkan mendekati Rp 16.300 per dollar,” kata Myrdal.
Namun, ia mengingatkan semua proyeksi itu tetap bergantung pada kondisi domestik. Jika ketidakpastian politik terus membayangi, investor asing bisa kembali keluar dari pasar Indonesia.
Data Aliran Modal Asing
Laporan Bank Indonesia (BI) memperlihatkan adanya pergerakan campuran pada aliran modal. Data transaksi periode 19–21 Agustus 2025 mencatat investor asing masih membeli bersih Rp 2,31 triliun di pasar saham.
Namun, mereka juga melepas Rp 0,62 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 0,78 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Totalnya, pembelian bersih asing hanya Rp 0,91 triliun.
Jika dilihat sepanjang tahun berjalan hingga 21 Agustus 2025, tren justru menunjukkan jual bersih (net sell) Rp 67,19 triliun. Angka itu menggambarkan betapa rapuhnya kepercayaan asing di tengah kondisi domestik yang penuh dinamika.
Faktor Politik dan Keamanan
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, menilai pelemahan rupiah kali ini tidak semata-mata karena faktor eksternal. Gelombang unjuk rasa yang marak belakangan juga memberi kontribusi.
“Demo besar biasanya menciptakan ketidakpastian. Investor menilai risiko meningkat, sehingga memilih keluar untuk sementara,” jelas Telisa.
Meski demikian, ia menekankan sentimen tersebut cenderung temporer. Artinya, jika kondisi keamanan kembali stabil, modal asing bisa mengalir lagi.
Peran Bank Indonesia
Dalam menghadapi tekanan, BI kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada 20 Agustus 2025. Kini BI rate berada di level 5 persen. Sepanjang 2025, total pemangkasan suku bunga sudah mencapai 100 basis poin.
Langkah ini berbeda dengan The Fed yang sejak akhir 2024 belum memangkas suku bunganya lagi dan tetap berada di kisaran 4,25–4,5 persen. Akibatnya, selisih suku bunga acuan antara BI dan The Fed makin tipis, hanya 50–75 basis poin.
Efeknya cukup terasa. Rupiah yang sempat menguat 1,29 persen pada akhir Juli ke level Rp 16.241 per dollar, justru melemah kembali sepekan setelah keputusan pemangkasan suku bunga. Posisi rupiah kini konsisten berada di rentang Rp 16.290–Rp 16.350 sebelum akhirnya menembus Rp 16.400.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menegaskan bank sentral terus menjaga stabilitas rupiah. “Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar spot, DNDF, maupun pembelian SBN di pasar sekunder untuk memastikan nilai tukar tetap sesuai fundamental,” ujarnya.
Rupiah ke Dollar: Apa Artinya untuk Masyarakat?
Perubahan nilai tukar rupiah ke dollar bukan sekadar angka di layar bursa. Bagi pelaku usaha impor, pelemahan rupiah berarti biaya yang lebih tinggi. Barang-barang yang bergantung pada bahan baku impor kemungkinan akan naik harga.
Sebaliknya, bagi eksportir, rupiah yang lemah bisa menjadi keuntungan. Pendapatan dalam dollar jika dikonversi ke rupiah akan lebih besar. Namun, keuntungan ini bisa tergerus jika biaya produksi dalam negeri ikut meningkat.
Bagi masyarakat umum, dampaknya terasa dalam harga kebutuhan sehari-hari, terutama barang impor. Efek lanjutan juga bisa memicu inflasi, sehingga daya beli rumah tangga tertekan.
Prospek ke Depan
Kondisi global juga patut diwaspadai. Ketidakpastian ekonomi Tiongkok, arah kebijakan energi dunia, hingga konflik geopolitik di beberapa kawasan dapat menjadi faktor eksternal tambahan yang memengaruhi rupiah.
Namun, selama fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat—ditopang oleh surplus perdagangan dan cadangan devisa yang memadai—rupiah masih punya peluang untuk kembali stabil.
Telisa menekankan, “Yang penting pemerintah mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Begitu kepercayaan pulih, investor akan kembali masuk.”
Kesimpulan
Pelemahan rupiah hingga Rp 16.400 per dollar mencerminkan rapuhnya pasar saat bersinggungan dengan faktor domestik. Pemangkasan suku bunga BI, kebutuhan valas akhir bulan, hingga tensi politik menciptakan badai kecil yang menekan mata uang Garuda.
Namun, badai ini bukan berarti tanpa jeda. Surplus perdagangan, ekspektasi pemangkasan bunga The Fed, dan komitmen BI menjaga stabilitas memberi ruang bagi rupiah untuk bangkit kembali.
Dengan kata lain, arah rupiah ke depan masih ditentukan oleh keseimbangan antara kepercayaan investor dan kondisi politik dalam negeri. Jika keduanya terjaga, peluang rupiah kembali menguat terbuka lebar.
